Buatlahcerpen yang mengangkat kehidupan remaja di daerahmu. Tokoh remaja yang tidak memiliki orang tua, tetapi harus mengurus adiknya. Suatu saat adiknya. Homepage / Pertanyaan Bahasa Indonesia / Buatlah cerpen yang mengangkat kehidupan remaja di daerahmu tokoh remaja yang tidak. Berikutini ialah 10 contoh cerpen remaja yang bisa kamu baca. Daftar Isi 1 Berbeda Jalan 2 Radio 109.1 FM 3 Perpustakaan Kota 4 Terbalik 5 Jono dan Kepala Sekolah 6 Ballerina 7 Majalah Dinding 8 Nyanyian Seberang Jalan 9 Pasar Malam 10 Nayla Berbeda Jalan Sumber: composita dari Pixabay Sari melangkahkan kaki dengan tergesa. Buatlahkarangan dengan judul cornelis de houtman vs keumalahayati Sejarah 2 16.08.2019 13:43. Tolong buatin cerpen yang mengangkat kehidupan remaja di dekat daerah kita. tokoh remaja yang tidak memiliki orang tua, tetatapin harus mengurus adiknya. suatu saat adiknya minta b Inilahjudul cerpen yang bagus tentang kehidupan dan ulasan lain mengenai hal-hal yang masih ada kaitannya dengan judul cerpen yang bagus tentang kehidupan yang Anda cari. Kehidupan remaja Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kehidupan remaja pada masa lalu. Kalau orang-orang tua kita mengatakan bahwa dahulu ketika remaja mereka masih TipsMenulis Novel yang Menarik Bagi Pembaca. Novel menjadi salah satu jenis buku yang memiliki banyak peminat. Ya, sebab novel merupakan salah satu jenis buku yang paling digemari semua kalangan usia. Ini terbukti dengan adanya beragam jenis genre yang ditentukan oleh klasifikasi umur. Ada novel anak-anak, remaja (teen-lit n chick-lit), dan Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Dunia remaja menjadi masa yang penting bagi setiap orang. Karena pada tahap itu banyak hal-hal yang terjadi untuk pendewasaan diri. Tak sedikit juga banyak penulis yang menuangkannya dalam cerita pendek. Cerpen remaja menjadi daya tarik sendiri karena mengisahkan masa-masa ini ialah 10 contoh cerpen remaja yang bisa kamu Isi1 Berbeda Jalan2 Radio FM3 Perpustakaan Kota4 Terbalik5 Jono dan Kepala Sekolah6 Ballerina7 Majalah Dinding 8 Nyanyian Seberang Jalan9 Pasar Malam10 NaylaBerbeda JalanSumber composita dari PixabaySari melangkahkan kaki dengan tergesa. Ia sudah terlambat 10 menit dari jadwal busnya hari ini, sehingga ia tertinggal bus jemputan. Ia perlu keluar dari gerbang komplek dan mencari ini semakin sial, tidak ada satupun ojek di pangkalan. Hari Senin seperti ini memang biasanya menjadi sangat sibuk, begitu pun tukang ojek. Di seberang jalan, ia melihat sosok lelaki yang menertawakan raut wajahnya. Sari semakin mendengus kesal, lelaki itu semakin menertawakannya. Dialah dengan motornya mendatangi Sari di seberang Jalan dan menawarkan untuk mengantarnya. Awalnya Sari menolak, karena pasti Ario, teman masa kecilnya akan mengejeknya habis-habisan di jalan. Tapi, di saat tergesa, akhirnya Sari pun menerima ajakan Ario.“Gimana rasanya terlambat sekolah?” Tiba-tiba Ario bertanya saat di perjalanan.“Ya sama aja kayak kamu terlambat ke turnamen lah.” Jawab Sari asal-asalan.“Aku sih gak pernah terlambat turnamen, Sar. Hahaaa”“Bodo amat, cepet ngebut!” Ario pun yang terkekeh kembali mengencangkan memang atlet bulu tangkis yang sudah tidak pernah sekolah umum sejak SMP. Ia memilih fokus untuk menjadi atlet dan memilih home schooling. Dari teman masa kecil Sari, Ariolah yang sudah memantapkan diri menjadi apa yang ia mau. Walau berbeda jalan dengan Sari, Ario selalu menemukan cara untuk menikmati masa di sekolah, Ario mengucapkan,“Belajar yang rajin ya Bu Dokter!” Sari tersenyum, sambil terkekeh. Merasa senang dan puas, entah juga 10 Cerpen Cinta Dengan Berbagai PesanRadio FM“Yuk kita dengarkan lagu Melly Goeslaw, yang berjudul Ku Bahagia’. Selamat Mendengarkan!”Lagu itu dirilis 2002 bersamaan dengan film terfenomenal pada masanya, yaitu Ada Apa dengan Cinta. Kedua ikon itu seolah mengisi masa remajaku saat itu. Dan hari ini, di penghujung 2019, aku berdiri kembali di sekolah ini, dengan radio yang sama, dan lagu yang sama. Aku takjub, ekskul radio ini masih terus bertahan, di tengah banyaknya aplikasi musik di HP siswa zaman tak ada keperluan untuk legalisir ijazah, tak mungkin aku mendengarkan lagi siaran-siaran dari radio sekolah ini. Lagu itu seolah membawaku bagaimana aku masih aktif di radio sekolah dan menghabiskan masa mudaku dengan teman-teman. Masa itu seolah memanggilku lorong sekolah menuju kantor, dahulu tidak ada atapnya. Sekarang dilengkapi atap berwarna biru tua. Memang benar, sekolah ini sudah bermetamorfosis sempurna. Aku jadi teringat ketika dahulu kehujanan basah kuyup dari kantor sampai ruangan kelas sehabis mengantarkan secara tiba-tiba, Pak Mustofa mendatangiku. Pak Mustofa merupakan guru seni yang menjabat juga sebagai pembina radio. Keriputnya kini semakin banyak, tetapi, gaya dan jiwanya tak pernah kelihatan tua. Setelah saling bertukar kabar, ia pun mengantarkanku pula ke ruang TU.“Inikan lagu kesukaan mu sama gengmu, ya, Nay”“Yaampun, Bapak, masih inget aja.”“Mereka pada gimana, Nay sekarang? Resti, Kiki, dan Lia?”“Baik-baik, Pak” Jawabku singkat, “Sepertinya..” jawabku dengan suara jadi teringat mereka bagaimana menghabiskan masa SMA dengan suka duka. Mengerjakan tugas bareng, ke kantin bareng, mengurusi segala hal tentang radio, sampai lulus bareng dan kita masing-masing tak tahu kabar lagi. Entah mengapa aku menjadi rindu hal tersebut. Setelah dari sini, aku putuskan untuk mencari mereka dan mengembalikan masa remajaku. Apapun yang KotaSumber foto composita dari PixabayAku menaiki anak tangga perpustakaan itu. Dengan seragam putih abuku yang sudah lusuh karena seharian aku beraktivitas di sekolah, aku memaksakan untuk menukarkan buku di perpustakaan bercover warna biru putih itu sudah lama belum aku kembalikan. Jika aku menundanya lagi, sudah pasti tunggakanku semakin banyak. Aku tak selesai membacanya karena hanya berisi cerpen remaja yang remeh temeh tentang sampai ke meja pustakawan, terlihat pustakawan sudah siap-siap mau pulang. Segera, aku bilang untuk memberitahu ingin mengembalikan buku. Hanya saja, Ibu pustakawan yang sudah beruban itu bilang,“Diurus sama mas yang itu, ya. Lagi magang dia. Reno, sini No.” Sosok tinggi berusia 20 tahunan itu menghampiri meja pustakawan. “Ibu pulang duluan ya, No. Anak bakal rewel nih”“Ah iya bu,” Lelaki itu hanya tersenyum sopan. Lantas ibu itu pergi keluar dan menyisakan kami berdua.“Bidhari, ya.. tunggakannya ujarnya sambil mengecek di layar komputer. Kuserahkan uang itu kepadanya, lantas ia tersenyum sambil menerima uangku, “Namanya bagus”“Terima kasih, Mas” hanya itu yang bisa kuucapkan. Karena terlalu salah tingkah dengan pujian yang aku terima. Pasalnya baru pertama kali ada yang memuji aku berbalik arah dan mencoba tidak berbalik. Namun, Ia memanggilku dan menyusulku. Ia pun menghalangi jalanku dengan postur tubuhnya.“Kartu perpusnya ketinggalan, Dek” ujarnya sambil tersenyum. Aku kembali kikuk dan mengucapkan terima kikukku terlihat jelas olehnya. Segera kupercepat langkah juga. Namun, saat perjalanan pulang, aku terus memikirkannya. Inikah yang dirasakan para tokoh-tokoh remaja di buku cerpen remaja saat jatuh cinta? Sekarang, aku menjadi tahu apa yang harus kulakukan sesering mungkin ke perpustakaan juga 10 Cerpen Persahabatan Dengan Banyak PesanTerbalikGadis itu terpaku. Matanya sinis terhadap apa yang ia lihat. Ia melihat sosok gadis seumuran dengannya bermanja ria dengan orangtuanya duduk di resto. Ia yang melihat pemandangan dari luar cafe itu hanya bisa berdiam.“Kamu kenapa, Ri?” sapaan temannya menghentikan lamunannya“Gak apa-apa, ayo kita ke rumah Jihan!” Riri ceria kembali dan menyembunyikannya dari berusia 15 tahun itu menguncir rambutnya sambil jalan. Sifatnya yang ceria membuat siapapun senang berteman dengannya. Ia pun disegani guru-guru karena pintar dan sopan. Tapi, tanpa orang-orang sadari, ia memiliki lubang hitam di hatinya yang belum terlihat oleh antara sekolah SMP dan rumah Jihan hanya beberapa meter, alhasil mereka hanya jalan dan masuk ke kompleks rumah. Pada saat perjalanan pulang, Jihan yang berjalan di depan menghentikan langkah.“Ri! Ri! Itu bapak kamu kan?” Jihan menunjuk mobil yang ditumpangi bapaknya Riri. Terlihat juga ada seorang wanita muda yang duduk di jok berdiam lalu kembali berlari ke arah sekolah. Tak mau melewati mobil Ayahnya yang sedang bersama wanita selingkuhan. Sontak teman-temannya pun mengejar, dan merasa kebingungan. Mereka memanggil-manggil Riri, namun tak digubris. Sampai akhirnya di taman sekolah yang sudah sepi, mereka menemukan Riri tersungkur di pojok dinding taman.“Tenang ya, Ri.” ujar Hana“Kita bakal bantu kamu kok apapun yang terjadi.” ujar Jihan sambil memeluk RiriPada hari itu, menjadi hal yang akan diingat oleh Riri. Bahwa masa mudanya tidak selalu berjalan mulus. Akan selalu ada kepedihan yang akan diingat. Salah satunya ialah masalah keluarganya. Untungnya teman-teman Riri bisa diandalkan. Riri pun menjadi tenang dan Kepala SekolahLelaki bertubuh agak gempal itu seringkali memasuki sekolah tanpa atribut lengkap. Ditambah selalu mengeluarkan baju seragamnya. Ia pun berteman dengan anak-anak nakal yang terkadang suka rusuh di sekolah. Tetapi, ia pintar bukan kepalang. Semua orang mengetahuinya saat pertama kali MPLS Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMP ku. Pasalnya, ia adalah orang yang berani bersuara tentang kebijakan MPLS.“Maaf Kak, saya izin bertanya. Untuk apa ya kami disuruh bawa semua barang ini? Apalagi barang-barang ini cukup banyak dan harganya di atas Kalau ada orang yang kurang beruntung, bagaimana?”Kakak-kakak OSIS itu mencoba menjelaskan sedetail mungkin, tapi tetap saja suara riuh peserta MPLS membuat OSIS juga terbungkam. Alhasil, barang-barang yang tadinya dikatakan akan dijadikan hadiah bagi para peserta terbaik, menjadi tidak wajib untuk dibawa oleh peserta. Hanya peserta yang mampu saja yang diwajibkan untuk Jono yang berani mempertanyakan kebijakan itu. Selama MPLS, ia tetap mengikuti peraturan sekolah, hanya saja ia berani mengeluarkan unek-uneknya secara langsung di depan panitia. Setelah seminggu, akhirnya MPLS pun selesai. Saat upacara penutupan, Jono dipanggil ke depan lapangan oleh Kepala Sekolah.“Ananda bernama Jono Laksono, silahkan keluar dari barisan. Dan ke depan”Sontak semua peserta, panitia, dan guru-guru pun saling berpandang. Awalnya Jono ragu untuk mendatangi Kepala Sekolah di depan halaman, namun akhirnya ia memberanikan diri. Orang-orang menyangka, Jono akanditegur atau dihukum karena membantah pada saat MPLS. Tapi, ternyata..“Terima kasih, Jono. Kamu sudah mengkritik beberapa hal yang tidak etis saat adanya MPLS ini.” Pak Kepala Sekolah justru mengucapkan terima kasih di depan semua orang dan sehabis itu menyalami siapa yang memulai, tiba-tiba terdapat tepuk tangan lalu menjadi riuh. Aku ingat saat itu Jono sangat senang. Sampai saat ini, ketika ia berdiri di lapangan lagi karena memenangkan lomba Sains, aku tersenyum. Aku mengingat obrolan dengannya waktu pertama kali bertemu saat MPLS.“Jangan terlalu menilai dari kulitnya. Tidak ada yang tahu, isinya arang atau emas” Ujar Jono kala aku menyempatkan diri untuk berkenalan foto Vladislav83 dari PixabayGadis dengan rambut dicepol itu segera memasuki panggung. Riuh penonton yang hadir membuat semangatnya semakin membahana. Kakinya mulai menjijit badannya meliuk, berputar, dan menari sesuai kursi penonton, ada sosok yang membelalakan matanya. Baru pertama kali inilah ia menonton pertunjukan balet remaja di gedung kesenian. Kalau bukan karena sepupunya yang bernama Anis memaksanya untuk ikut, ia tidak akan berada di tempat itu.“Bang.. bang.. Temenku hebat kan?” Anis yang telah berusia 15 tahun itu bertanya. Padahal, jarak perbedaan usianya hanya dua tahun.“Oh itu, iya” Jawab Abang dingin.“Halah Bang Gifar, kamu takjub juga kan liat penampilannya” Anis menggoda Gifar dengan menyenggol sikutnya. Gifar tak pementasan tunggal itu, Anis mengajak ke belakang panggung. Tentu saja dengan menyeret Gifar. Pada saat itulah Gifar melihat secara langsung dengan jarak dekat mata penari balet itu, yang bernama Kalia. Gadis kecil itu seumuran dengan Anis, tak ada yang aneh, hanya saja mata Kalia memancarkan semangat yang penuh terhadap hal yang disuka, yaitu di perjalanan pulang, Anis tak berhenti mengoceh tentang Kalia. Gifar mendengarnya sayup-sayup karena beradu dengan suara motor lainnya. Anis bercerita, Kalia sudah memenangkan banyak penghargaan balet. Kalia memang sudah sejak dari usia 5 tahun diperkenalkan dengan dalam hati Gifar, ia sangat tersanjung dengan penampilan Kalia. Ada momen menarik ketika Kalia tersenyum, terlebih di atas panggung. Penampilan Kalia membuatnya sadar, bahwa ia belum bisa memancarkan senyum yang tulus terhadap hal-hal yang ia suka. Ia belum mengetahui dan menekuni kegiatan yang menjadi hobinya.“Bang, kamu suka Kalia, kan?”“Hah! Ngarang aja kamu!” Sangkal Gibran lalu mengegas laju motornya. Teriakan Anis membuatnya tertawa dan sejenak melupakan pikiran tentang hobinya dan juga gadis balet juga 10 Contoh Cerpen PendidikanMajalah Dinding Bagaimana cinta pertamamu, apakah berhasil? Saling betukar pandang di jendela kelas dengan malu-malu, memberikan beberapa tangkai bunga dan coklat di kolong meja diam-diam, dan juga belajar bersama di perpustakaan merupakan alibi untuk selalu dekat dengan orang yang kau damba. Begitupun sosok berambut sebahu itu, yang matanya berpendar pertama kali di lorong sekolah saat melihat karya cerpenku di mading. Cerpen remajaku yang kupasang di mading, tak kusangka dibaca olehnya dan membuat matanya berkaca-kaca. Aku yang berada di sampingnya takjub, baru pertama kali aku melihat orang secara langsung terenyuh membaca cerpen ku.“Bagus sekali..” gumamnya kala itu.“Bagian mana yang bagus?” tanyaku“Saat Rana menggapai mimpinya dan jatuh bangun bersama Roni” jawabannya dengan tatapan mata masih menghadap mading. Rana dan Roni adalah tokoh dalam tak menanggapinya lagi. Namun tiba-tiba, ia menghentikan langkahku ketika aku hendak beranjak pergi.“Tunggu, namamu siapa?” tanyanya“Satya.” jawabku pendek“Aku Sinta, kelas 8B” ujarnya cepat, padahal akupun tak saat itu, aku yang ketika awal bertemu bersikap dingin, entah mengapa seperti tersihir matanya. Caranya tersenyum seolah membuat matanya pun ikut tersenyum. Perlahan-lahan aku mulai pura-pura menitipkan coklat di kolong mejanya, mencuri pandang di jendela kelasku yang berseberangan dengan pada semester genap terakhir kelas delapan, di saat perpustakaan kosong, itulah keberanianku pertama kali untuk mengajaknya berhubungan lebih dari teman. Entah mengapa, dengan senyum malu-malu, ia pun menganggukan kepala tanda setuju. Momen itu akan aku ingat seumur bulan berjalan, aku dan dia hendak pulang bersama. Tetiba ia menghentikan langkah tepat di depan majalah dinding. Ia menghadap langsung dan bertanya,“Kamu tahu, kenapa aku mau nerima kamu?”“Kenapa?”“Mungkin karena kamu menulis. Kamu juga kan yang menulis cerpen remaja yang aku baca saat pertama kali kita bertemu?” Penjelasannya membuatku susah berkata-kata. Aku tak pernah bilang kalau aku ialah penulis cerpen di mading hanya tersenyum lalu ia pun membalasnya dengan senyuman kembali. Entah kenapa, aku merasa menjadi orang yang beruntung. Mungkinkah ini dampak dari jatuh cinta pada kali pertama?Nyanyian Seberang JalanSumber foto Gerd Altmann dari PixabayRumah bergaya Belanda itu menjadi tongkrongan anak-anak muda. Pemiliknya ialah sepupuku bernama Angga. Biasanya pada jam 4 sore sampai malam, teman-teman Angga akan berkumpul dan bernyanyi sambil mendendangkan gitar. Rumahnya yang berseberangan dengan rumahku pun terkadang terganggu dengan kelakuan Angga dan teman-teman Angga berusia 12-17 tahun. Yang paling tua bernama Narto, ia bisa dibilang ketua geng di antara mereka. Narto kerap kali mengajak mereka bermain game bersama di sana ataupun hanya memainkan gitar sambil bernyanyi. Terkadang pula, ia menggodaku ketika hendak keluar rumah untuk pergi ke hari, Narto dan ketiga teman lainnya asyik bernyanyi sambil bermain gitar. Tak kutemukan Angga di sana. Entah kemana sepupuku satu itu, mungkin masih di dalam rumah. Apabila aku tidak disuruh pergi membeli telur, sangat malas aku keluar rumah dan bertemu saja aku membuka pintu gerbang, langkah kaki Narto dari seberang jalan mendekatiku. Ia bernyanyi sambil memainkan gitarnya dan menghampiriku dengan menggoda. Teman-teman lainnya pun cekikikan tertawa melihat Narto yang menggodaku. Aku yang risih pun berteriak.“Diam Narto!!” Sontak ia menghentikan nyanyiannya. “Kalian itu ngenganggu tau gak! Tiap hari nyanyi gak jelas, kayak gak ada kerjaan!” teman-temannya pun di seberang jalan mendadak diam. Dan kulihat Angga keluar dari dalam rumah.“Kamu juga, Angga! Suruh mereka pulang kek ke rumahnya masing-masing. Betah banget di rumah kamu kayak parasit!” Bentakku dengan keras. Kulihat mata mereka merenung tak berani aku pergi dari tempat itu dan meninggalkan mereka semua. Tak kusangka, Angga mengejarku. Di lapangan kompleks sebelum ke warung ia meneriakiku.“Wana! Berhenti!”“Apa?” Tanyaku kepadanya“Kamu gak berhak lho marah-marahin temenku kayak gitu. Mereka juga punya amarah yang disembunyikan dan melampiaskannya dengan ngobrol serta main bareng di rumahku. Emangnya salah kalau mereka bersenang-senang sejenak?”“Salah karena mengganggu orang, tau gak!” Bentakku tak mau kalah.“Ridwan sering ditinggal Ibunya tanpa dikasih apapun, Pandu punya masalah dengan kakaknya, dan Narto ia rela bersekolah sekaligus mengamen untuk menambah biaya obat Ayahnya, asal kamu tahu.” Penjelasan Angga membuatku tertegun. “Gak semua yang kamu kira gak berguna, gak ada nilai, Wan.” Perlahan Angga pun berbalik dan aku pergi ke warung dan berusaha tidak memedulikan omongan Angga. Tapi nyatanya, omongan Angga mengusik pikiranku. Selepas kembali dari warung, kulihat Narto dan lainnya sudah berdiri di depan rumahku. Mereka meminta maaf. Hal itu membuatku terenyuh. Segera aku pun meminta maaf kepada mereka. Rupanya dengan beberapa pengertian, segala hal menjadi MalamGulali berwarna merah muda itu mereka beli dengan sisa uang yang mereka punya. Sehabis menaiki komedi putar yang tiang-tiangnya sudah berkarat, mereka sepakat untuk menyudahi main wahana malam orang gadis remaja itu menikmati gulali merah di bangku pasar malam. Ada Rana yang selalu memakai bando untuk menghias kepalanya, ada Nina dan Nani si kembar identik yang menjadi pembeda adalah tahi lalat di sebelah pipi kiri pada Nina dan tahi lalat sebelah pipi kanan pada Nani, dan yang terakhir ialah Shila si anak bungsu yang selalu dimanja membawa handphone satu pun, mereka bebas melakukan dan bermain di pasar malam tanpa diganggu oleh panggilan dari orang tua ataupun dari orang lain. Lalu, mereka pun berbincang tentang yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi.“Tahu gak dosa kita apa? Dulu, kita sering iseng ke Pak Sadeli, asisten mamanya Shila. Gara-gara dia selalu pakai celana panjang batik kedodoran, hahha!” tiba-tiba Rana memulai perbincangan.“Haha bener, aku inget banget. Nina hampir mau ketangkep kan sama Pak Sadeli?” Shila menimpali“Enak aja, itu Nani tau, bukan aku! Aku kan larinya cepet!” Nina menyangkal“Tapi Pak Sadeli sabar deh ngadepin usilnya kita” ujar Nani sambil melahap gulali yang tersisa.“Untungnya aja, sekarang kita gak usil. Nanti di sekolah baru, kita bakal tetep kompak ga, ya?” tanya Rana“Pokoknya, harus! Diusahakan aja tetep ada komunikasi dan kumpul tiap jam istirahat, gimana?” Shila menjawabnya dengan semua pun mengangguk. Shila yang biasanya menjadi anak manja di rumah, selalu bisa mengajak dan menuntun teman-temannya itu. Di pasar malam, mereka mengikrarkan sesuatu pada ingatan masa anak-anak mereka, dan menyambut segala hal baru di depan mata mereka.“Untuk ingatan masa kecil dan ramalan masa depan,”“Yeay! Yeay! Yeayyyy!!”NaylaSumber foto Free-Photos dari PixabaySaat aku membuka tas sekolahku di kamar, lukisan dalam kertas tanpa nama itu berada di dalam tasku. Lukisan yang menggambarkan seorang putri pirang menghadap ke telaga berwarna biru. Entah siapa yang memasukannya, aku pun tak berikutnya, aku mendapatkan lukisan lagi di dalam tasku seusai pulang sekolah. Lukisan itu menggambarkan seorang putri berambut pirang yang sendirian menatap kue ulang tahun. Segera aku keluar kamar, tak ada siapapun di rumah. Lagipula aku sudah biasa sendirian di rumah. Tak ada orang tua, tak ada teman-teman. Namun tiba-tiba.“Happy birthday to you.. Happy birthday to you.. Happy birthday Nayla..” Suara nyanyian itu berasal dari suara ibuku yang single parent, dan juga satu-satunya temanku, yaitu yang berada di tasku ialah buatan ibuku sendiri. Tak pernah kutahu, Ibuku kembali melukis setelah bercerai dengan Ayah. Aku menangis terharu. Tak kusangka orang-orang yang aku sayangi mengingat ulang tahunku banyak orang bilang, sangatlah beruntung apabila ulang tahun ke 17 dirayakan dengan orang-orang spesial. Dan aku merasa aku mendapatkan hari spesial itu. Hari dimana aku akan mengingat momen beruntung, walau tak seperti orang-orang lain yang dirayakan dengan meriah dengan teman-teman yang banyak. Aku memiliki Andini yang mau menjadi tempat curhatku dari SMP. Ialah yang mengisi masa remajaku. Dan aku mempunyai Ibu walaupun menjadi single parent ia tetap menyeimbangi karir dan bahagia menjadi Nayla yang sesungguhnya dan juga Cerpen Kehidupan Dengan Banyak PesanBegitulah 10 contoh cerpen remaja yang bisa menjadi referensimu. Secara umum, mengisahkan masa-masa remaja. Semoga terbantu, ya. Menulis cerpen adalah salah satu cara yang tepat untuk mengungkapkan ide dan gagasan yang ada dalam pikiran kita. Cerpen sendiri merupakan sebuah karya sastra yang memiliki banyak penggemar. Apalagi cerpen yang mengangkat kehidupan remaja di daerahmu, pasti akan sangat diminati oleh remaja lainnya yang berasal dari daerah yang sama. Mencari Inspirasi Mulailah dengan mencari inspirasi. Carilah ide-ide yang menarik untuk dijadikan sebuah cerpen. Bisa dari pengalaman pribadi, cerita dari teman atau keluarga, ataupun dari media sosial atau berita yang sedang viral. Setelah itu, cobalah untuk memilih tema yang berkaitan dengan kehidupan remaja di daerahmu. Misalnya tentang persahabatan, percintaan, mimpi dan cita-cita, atau masalah sosial yang sering terjadi di daerahmu. Dengan begitu, cerpenmu akan lebih mudah diterima oleh pembaca karena mereka bisa merasakan kisah yang sama dengan yang kamu tulis. Membangun Karakter Setelah menemukan tema yang tepat, langkah selanjutnya adalah membangun karakter. Karakter dalam cerpen sangat penting karena mereka akan menjadi tokoh utama dalam cerita yang kamu tulis. Buatlah karakter yang kuat, memiliki sifat yang unik, dan memiliki konflik yang menarik. Perlu diingat, karakter tidak harus selalu menjadi pahlawan atau tokoh utama. Karakter sampingan atau antagonis juga bisa menjadi kunci dalam cerita yang kamu tulis. Membangun Plot Plot adalah rangkaian peristiwa yang terjadi dalam cerita. Plot haruslah dibangun dengan baik agar cerita yang kamu tulis menjadi menarik dan tidak membosankan. Mulailah dengan membuat pendahuluan atau pengenalan, lalu lanjutkan dengan konflik dan klimaks, dan terakhir adalah penyelesaian atau ending. Perlu diingat, plot juga haruslah sesuai dengan tema yang kamu pilih. Jangan sampai plot yang kamu bangun tidak relevan dengan tema yang telah kamu tentukan sebelumnya. Membuat Narasi yang Menarik Narasi adalah cara penyampaian cerita dalam bentuk tulisan. Narasi yang baik akan membuat cerita yang kamu tulis menjadi lebih hidup dan menarik. Cobalah untuk menghindari narasi yang monoton atau membosankan. Gunakan gaya bahasa yang bervariasi, seperti metafora, simile, atau personifikasi. Selain itu, cobalah untuk menggambarkan suasana dan latar tempat dengan baik. Hal ini akan membuat pembaca lebih mudah membayangkan cerita yang kamu tulis. Menyunting dan Menyempurnakan Cerpen Setelah menyelesaikan cerpen, jangan langsung mempublikasikannya. Beri waktu untuk menyunting dan menyempurnakan cerpenmu. Cek kembali tata bahasa, ejaan, dan kesalahan lainnya dalam cerpenmu. Perbaiki bagian-bagian yang kurang jelas atau terkesan membosankan. Jika perlu, mintalah teman atau orang lain untuk membaca cerpenmu dan memberikan feedback. Hal ini akan membantumu untuk melihat kekurangan dan kelebihan dalam cerpenmu. Memiliki Kesan yang Mendalam Sebuah cerpen yang baik adalah cerpen yang mampu memberikan kesan yang mendalam bagi pembacanya. Cerpen yang mengangkat kehidupan remaja di daerahmu bisa menjadi media untuk menyampaikan pesan positif kepada pembacanya. Misalnya tentang pentingnya persahabatan, arti cinta sejati, atau pentingnya mengejar mimpi. Sebuah cerpen yang memiliki pesan yang kuat akan membuat pembaca terinspirasi dan mungkin bisa menjadi motivasi bagi mereka untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Kesimpulan Menulis cerpen yang mengangkat kehidupan remaja di daerahmu bisa menjadi cara yang tepat untuk menyampaikan pesan positif kepada pembaca. Mulailah dengan mencari inspirasi dan memilih tema yang sesuai dengan kehidupan remaja di daerahmu. Buatlah karakter yang kuat dan plot yang menarik. Sempurnakan cerpenmu dengan menyunting dan memperbaiki kekurangan yang ada. Dan yang terpenting, buatlah cerpenmu memiliki kesan yang mendalam bagi pembacanya. Blog Suka baca cerpen? Yuk, lihat beberapa contoh cerpen singkat dan menarik, beserta pengertian dan strukturnya di artikel Bahasa Indonesia kelas 9 berikut ini! — Sejak kecil, kamu pernah membaca cerita-cerita pendek mengenai putri dan pangeran, nggak? Semua cerita itu sangat seru dan membekas di ingatan sebagian besar orang hingga sekarang. Yap, cerita pendek atau cerpen memang seperti memiliki kekuatan sihir yang membuat kita sulit lupa. Tapi, tahukah kamu apa itu cerpen? Lalu, cerita seperti apa yang dapat kita katakan sebagai cerpen? Nah, supaya nggak bingung, simak pengertian, struktur, beserta contoh cerpen singkat dan menarik berikut ini! Pengertian Cerpen Cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek. Selain itu, cerpen juga hanya memuat satu alur cerita. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, umumnya cerpen merupakan cerita yang habis dibaca sekitar 10 hingga 30 menit. Jumlah katanya sekitar 500– kata. Maka dari itu, cerpen sering juga disebut sebagai “cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk”. Biasanya, cerpen mengangkat persoalan kehidupan manusia secara khusus. Tema cerpen berasal dari persoalan keseharian hingga ke renungan yang dipotret dari kehidupan nyata. Namun, tokoh dan latar bisa direkayasa demi kepentingan keindahan cerita sekaligus membedakannya dari teks pengalaman nyata. Ciri cerpen juga ditandai dengan jumlah karakter yang relatif kecil. Nah, unsur yang ada pada cerpen adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, alur dan plot, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Cerpen juga memiliki memiliki struktur dalam penulisannya. Baca Juga Mengupas Cerpen Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Struktur, dan Analisisnya Dalam artikel ini, kita akan fokus membahas tentang struktur yang dimiliki oleh cerpen. Apa aja sih struktur cerpen? Perhatikan di bawah ini ya. Struktur Cerpen Struktur cerpen terdiri dari orientasi, rangkaian peristiwa, komplikasi, dan resolusi. Nah, untuk penjelasan lebih lengkapnya, ada di bawah ini! 1. Orientasi Di bagian ini, kamu akan menemukan pengenalan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh. 2. Rangkaian Peristiwa Kisah akan berlanjut melalui serangkaian peristiwa satu ke peristiwa lainnya yang tidak terduga. 3. Komplikasi Kemudian, cerita akan bergerak menuju konflik atau puncak masalah, pertentangan, atau kesulitan-kesulitan bagi para tokohnya yang memengaruhi latar waktu dan karakter 4. Resolusi Bagian ini akan menceritakan solusi untuk masalah atau tantangan yang dicapai telah berhasil. Pada bagian ini, kamu juga akan mengetahui bagaimana cara pengarang mengakhiri cerita. Oke, setelah kita mengulas kembali mengenai pengertian dan struktur cerpen, berikut ini ada beberapa contoh cerpen singkat. Kita baca sama-sama, yuk! Contoh Cerpen Cerpen berjudul Wanita Berwajah Penyok Wanita Berwajah Penyok Oleh Ratih Kumala Orientasi Seperti apakah rasanya hidup menjadi orang yang tak dimaui? Tanyakan pertanyaan ini padanya. Jika dia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia akan melancarkan jawabnya. Konon dia lahir tanpa diminta. Korban gagal gugur kandungan dari seorang perempuan. Hasil sebuah hubungan gelap yang dilaknat warga dan Tuhan. Perempuan yang saat ini disebut “ibunya” bukanlah ibu yang sebenarnya. Dia hanya inang yang berkasihan lalu bergantian menyusui lapar mulut dua orang bayi; bayi berwajah penyok yang dibuang orang di pinggir kampung. Rangkaian Peristiwa Suatu hari yang biasa; siang terang dan wanita berwajah penyok tengah keliling kampung sendiri saat anak-anak kecil sepulang sekolah itu mulai mengekori dan menyambut punggungnya di belakang. Maka, wanita berwajah penyok mengambil sebongkah batu. Tangannya yang dekil melemparkan batu itu ke arah anak-anak. Seorang anak bengal berkepala peyang terkena timpukannya. Membuat jidatnya terluka. Darah segar mengucur dari situ, mengubah seragam putihnya menjadi merah. Dia pulang ke rumah mengadu kepada ibunya, sementara anak-anak lain menjadi takut dan bubar satu-satu. Dengan terpaksa, keluarga wanita berwajah penyok akhirnya memutuskan untuk memasung dirinya pada sebuah ruangan kecil yang tak bisa disebut manusiawi dekat tanah pekuburan. Sejak itu wanita berwajah penyok tinggal di dalamnya. Bulan berganti tahun, tanpa tahu itu malam atau siang. Seperti apakah rasanya hidup dalam sepi? Tanyakan pertanyaan ini kepadanya. Maka, yakinlah jika dia bisa berkata-kata, dia akan melancarkan jawabannya. Tak ada yang benar benar tahu apa yang dia kerjakan di dalam sana walau kadang terdengar suaranya berteriak untuk berontak. Ini hanya menambah ngeri tanah pekuburan. Orang-orang mengira itu suara kuntilanak jejadian penghuni kuburan. Tak pernah ada orang yang benar-benar mendekat. Wanita berwajah penyok telah lupa bahasa tanpa ia pernah benar-benar menguasainya. Andaikata suatu saat dia bisa terbebas dari pasungnya, orang akan bertanya bagaimana ia bisa bertahan hidup? Sebab ia telah menjadi sendiri. Pada malam yang biasanya kelam nan pekat, kini wanita berwajah penyok bisa mendapat segaris cahaya dari celah lubang tadi. Kepalanya didongakkan ke atas, dia bisa melihat rembulan. Bertahun dia tidak melihat rembulan hingga ia lupa bahwa yang dilihatnya adalah rembulan. Untuk pertama kalinya dalam periode tahunan pasungnya, ia merasa bahwa dirinya punya teman. Dia mulai berkenalan. Dengan bahasa yang hanya ia mengerti, ia bercakap-cakap dengan bulan. Dia selalu menunggu teman barunya untuk berkunjung dan bercakap-cakap dengannya setiap malam. Namun, semakin hari bentuk wajah rembulan semakin sempit dan cekung. Mengecil dan terus mengecil hingga hanya menjadi sabit. Air muka rembulan juga semakin pasi. Semakin hari sabit rembulan jadi kembali membulat walaupun wajahnya masih pasi. Saat bulan bulat penuh, wanita berwajah penyok girang sekali sebab ini berarti dirinya berhasil menghibur teman baiknya. Tapi suatu hari rembulan kembali menyabit dan seperti yang sudah-sudah, wanita berwajah penyok tak pernah bosan menghiburnya dengan bahasanya sendiri hingga rembulan bulat penuh. Terus seperti itu. Komplikasi Hingga suatu malam, sehari setelah bulan benar-benar sabit, rembulan tidak datang mengunjunginya. Ia sedih sekali dan mengira rembulan tak mau menemuinya. Malam itu hujan turun deras. Wanita berwajah penyok berpikir bahwa rembulan sedang menangis. Maka dia ikut menangis pula, kesedihan mendalam sahabatnya, dan sekali lagi, dengan bahasa yang hanya bisa dia mengerti, dirinya berusaha membujuk bulan dan menghiburnya. Dia tak pernah bosan. Tetapi, langit tetap hujan, rembulan terus menangis. Tetesan air masuk dari celah atap ruang pasung yang menjadi bocor. Menimpa kepala wanita berwajah penyok dan membuat dirinya kebasahan. Lelah, wanita berwajah penyok tertidur. Ia menggigil hebat tanpa ada orang yang tahu keadaannya. Paginya ia terbangun oleh segaris sinar yang masuk dari celah atap. Sinar kecil itu jatuh ke kubangan air yang menggenang. Dirasakannya tubuhnya demam. Tetapi, begitu dia terbangun yang diingatnya hanyalah rembulan. Resolusi Siang telah menjelang, ini berarti rembulan telah pulang ke rumahnya setelah semalam bersembunyi di balik awan sambil menangis. Ia menyesal tak bisa melihat wajah rembulan malam tadi. Didekatinya genangan air tadi. Genangan yang tak jernih. Ia berwarna coklat karena bercampur debu. Sebuah bayangan ada di sana. la tersenyum dan menemukan wajah rembulan di sana. Lalu dia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi sebab bersama sahabat di dekatnya. Cerpen berjudul Ketika Laut Marah Ketika Laut Marah Oleh Widya Suwarna Orientasi Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun. Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani menampakkan diri. Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati. Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa meminjam pada lintah darat. Rangkaian Peristiwa Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak ada yang ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, seperti para tetangganya. Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi, diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri. Komplikasi Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!” Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah, memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam menjanjikan cuaca buruk nanti petang. Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja. Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.” Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada cukup makanan untuk seisi desa. Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih. “Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang menggendong adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap. Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu dan semua anak ini akan makan enak di rumahnya masing-masing.” Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan panen ikan. Resolusi Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam yang menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit. Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira. Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa syukur. Baca Juga Mempelajari Unsur-Unsur Intrinsik Cerita Pendek Cerpen berjudul Kado Istimewa Kado Istimewa Oleh Jujur Prananto Orientasi Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah. Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya yang sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum, tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi. Rangkaian Peristiwa Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta. Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”. “Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan”. Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa. Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal di rumah. Tas kulit yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta. Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi. Berbincang-bincang tentang masa lalu tentang kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan terlupakan walaupun terlibas oleh berputarnya roda zaman. Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong. “Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas. Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu Kus dengan ketus. “Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu. “Pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus. Komplikasi Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi melihat ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian. “Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu? Tanya Wawuk. “Di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus. “Tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut. “Yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus. “Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”. “Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.” “Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??” “Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.” “Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?” “Apa-apa, kok, mesti laporan.” “Bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan… tidak di undang?” “Lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?” “Ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang biasa.” “Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.” “Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu cuma dengar omongan kiri kanan.” “Suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak diundang?” “Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa, jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.” “Kan bisa tanya?” Resolusi Wawuk menghembuskan napasnya agak keras. “Ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.” Baca Juga Kumpulan Contoh Teks Pidato beserta Struktur, Tujuan & Jenisnya Cerpen berjudul Obat Bosan dari Nenek Obat Bosan dari Nenek Oleh Widya Suwarna Orientasi Ayah dan Ibu belum pulang dari kantor. Mbak Asti dan Mas Pur pergi kuliah. Kawan bermain Lili, Oni sedang sakit kuning. Vita, tetangga sebelah sedang pergi ke rumah saudaranya. Nah, tinggal Lili dan Mbok Nah yang ada di rumah. Mbok Nah sibuk menyetrika. Lili merasa kesal dan bosan. PR sudah selesai. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Biasanya dia bisa bermain dengan Vita atau Oni. Rangkaian Peristiwa “Sudah, tidur saja Li!” usul Mbok Nah. “Ah, orang tidak mengantuk disuruh tidur!” Lili menggerutu. “Atau main ke rumah Dede? Biar Mbok antarkan!” Mbok Nah menawarkan. “Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam empat begini dia belum bangun. Dia kan harus tidur siang setiap hari!” Lili menolak. Tiba-tiba Lili mendapat gagasan. Dia pergi ke kamar Ibu dan menelepon Nenek. Sesudah bercakap-cakap sejenak, Lili mulai mengeluh, “Nek, kalau tiap hari begini Lili bisa mati. Bosannya setengah mati. Vita pergi, Oni sakit. Di rumah tak ada siapa-siapa!” “Wah, wah, jangan sebut-sebut mati. Bosan itu kan penyakit yang paling gampang diobati. Sudah setua ini Nenek tak pernah merasa bosan!” “Tentu saja. Cucu-cucu yang tinggal sama Nenek segudang. Di sana kan selalu ramai. Di sini sepi!” “Selalu sepi tidak enak, selalu ramai juga tidak enak. Nah, begini saja. Kamu sabar sebentar. Nenek akan segera datang membawakan obat untuk penyakit bosanmu!” “Baiklah, cepat datang, ya Nek!” kata Lili dengan gembira dan meletakkan gagang telepon. Dalam hati Lili bertanya-tanya seperti apa kiranya obat bosan itu. Kalau berbentuk pil, wah, lebih baik tidak usah saja. Kalau berbentuk permainan, nah ini lebih asyik. Tetapi, mainan pun lama-lama bias membosankan. Sambil menunggu Nenek datang, Lili mendekati Mbok Nah lagi. “Mbok, Mbok, Nenek mau datang membawakan obat bosan. Tahu tidak Mbok, obat bosan itu seperti apa sih?” Mbok Nah tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Lili, Lili, mana ada sih obat bosan? Ada juga obat batuk, obat sakit perut, obat flu. Kalau Mbok Nah bosan, obatnya sih gampang saja. Stel saja kaset dangdut. Hilang sudah rasa bosannya!” kata Mbok Nah. Sekarang Lili yang tertawa. “Kalau saya sih tambah bosan mendengar kaset lagu dangdut. Kaset lagu anak-anak saja, paling seminggu enak didengar. Sesudah itu bosan saya mendengarnya!” kata Lili. Komplikasi “Ya, sudah. Kesukaan orang kan Iain-Iain. Kita lihat saja nanti, Nenek bawa obat bosan yang bagaimana!” kata Mbok Nah. Empat puluh menit kemudian Nenek datang. Lili menyambutnya dengan gembira. Nenek mengeluarkan beberapa buah buku dari tasnya. “Yaaa, obat bosannya bukuuuu. Lili kan malas baca buku!” seru Lili dengan kecewa. “Hei, kamu belum tahu nikmatnya membaca buku rupanya. Kalau sudah senang membaca, kamu tidak akan pernah merasa bosan lagi. Nah, sekarang coba kamu baca buku yang ini!” kata Nenek sambil memberikan sebuah buku cerita bergambar. “Kalau tebal, malas ah bacanya!” kata Lili dengan segan. “Tidak, ini cuma 24 halaman. Tiap halaman ada gambarnya dan teksnya sedikit. Ceritanya tentang beruang kecil. Bagus, Iho! Anak-anak di berbagai negara sudah membaca buku ini!” Nenek memberi semangat. Resolusi Lili mulai membaca. Eh, ternyata menarik juga. Nenek tersenyum dan berkata, “Kamu sudah kelas empat. Sayang sekali kamu belum mengenal banyak cerita yang bagus. Sebetulnya buku bukan hanya buku cerita, tetapi ada juga buku tentang berbagai pengetahuan. Misalnya kamu mau tahu asal minyak tanah, atau cara kerja tukang pos, atau tentang menanam bunga atau apa saja, semua ada bukunya!” “lya, Nek? Kalau buku cara membuat mainan dari kertas, ada tidak Nek? Itu Iho, seperti membuat perahu, burung. Lili mau baca buku itu kalau ada!” kata Lili. “Tentu saja ada. Nanti, kita bisa cari di toko buku. Nenek akan tunjukkan berbagai macam buku. Sekarang, kamu bisa membaca buku-buku yang tipis ini dulu. Nanti, makin lama kamu akan terbiasa dan senang membaca buku cerita yang lebih tebal. Kalau kamu suka membaca, kamu tak akan merasa bosan. Bermain dengan kawan memang suatu hal yang baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti kalau kamu menjadi mahasiswi, kamu sudah terbiasa membaca buku pelajaran yang tebal-tebal!” kata Nenek. “Buku ceritanya dari mana, Nek?” tanya Lili. “Nanti Nenek belikan beberapa. Lalu setiap bulan Ibu bisa membelikan satu atau dua buah buku. Kemudian kamu bisa tukar pinjam dengan kawan-kawanmu yang punya buku cerita. Selain itu kamu juga bisa pinjam dari perpustakaan sekolah. Di sekolahmu ada perpustakaan tidak?” tanya Nenek. “Ada. Tapi Lili belum pernah pinjam!” Lili mengaku terus terang. “Lili! Lili! Seharusnya, perpustakaan sekolah dimanfaatkan. Tetapi, baiklah! Sekarang Nenek akan membimbingmu. Nenek akan pinjamkan buku-buku yang menarik, supaya kamu rajin membaca. Sesudah itu berangsur-angsur kamu mulai membaca buku yang banyak teksnya!” kafa Nenek. Selama satu bulan Nenek akan sering datang membawa buku cerita untuk Lili. Sampai akhirnya, bila Lili sudah gemar membaca, Nenek tak perlu lagi membawakan buku-buku cerita. Lili sudah bisa mencari sendiri buku cerita atau pengetahuan yang dibacanya. Yang penting juga, Lili sudah mendapat obat bosan yang ampuh dari Nenek, hingga seumur hidup dia akan bebas dari penyakit bosan. Baca Juga Apa Saja Unsur-Unsur Ekstrinsik Cerpen Itu? Cerpen berjudul Kucing yang Selalu Lapar Kucing yang Selalu Lapar Oleh Lena D. Orientasi “Mengapa kucing mencuri?” tanya Kiki dalam hati. Gadis kecil itu merenung di tepi jendela sambil mendengarkan keributan yang sedang terjadi di sebelah rumahnya. Kiki sudah dapat menduga siapa yang menjadi sumber keributan itu. Pasti kucing itu! Benar saja! Seekor kucing kecil dengan tangkas meloncat ke pagar tembok yang memisahkan rumah Kiki dengan rumah Tante Sali. Mata kucing itu dengan liar memperhatikan sekitarnya. Ekornya berkali-kali dikibaskan ke udara. Rangkaian Peristiwa “Hai….” sapa Kiki. “Mencuri lagi, ya!” Kucing itu hanya menggeram. Matanya nanar waspada. Tiba-tiba saja ia melompat turun. Lalu menghilang. “Kucing sialan!” Tante Sali muncul dari balik pagar. Napasnya memburu. Sebelah tangannya membawa sapu, sebelah lagi berkacak pinggang. “Sialan kucing itu!” “Mencuri apa dia, Tante?” tanya Kiki. “Oh….” Tante yang gemuk itu menoleh. Senyumnya mengembang melihat Kiki. “Tidak, tidak mencuri apa-apa! Tidak berhasil dia! Tapi tiap hari diintip-intip, kan, menyebalkan, Ki!” “Oh…. Tidak berhasil!” Kiki meniru. “Kenapa kucing mencuri, Tante?” “Tentu saja karena ia lapar!” jawab Tante Sali. “Kasih saja kucing itu makan, Tante, biar tidak mencuri lagi!” usul Kiki dengan polosnya. “Enak saja!” Tante Sali merengut. la jadi nampak lucu sekali. Dagunya yang gemuk berlipat-lipat. “Memangnya kucing siapa dia?!” Kucing siapa? Kiki tertegun. Dalam benak gadis kecil itu tak terbayang pemilik kucing yang selalu membuat ulah itu. Kalau tidak berhasil mencuri di tempat Tante Sali, pasti ia beroperasi di rumah sebelah lagi. “Punya siapa, Tante?” tanya Kiki cepat-cepat sebelum Tante Sali berlalu. “Tidak tahu. Kucing liar mungkin,” jawab Tante Sali sambil membalikkan badan. Namun, kemudian dia berbalik lagi. Lalu menjulurkan kepalanya melewati pagar. “Kiki,” panggilnya. “Kenapa tidak main ke rumah Tante? Ayo, anak manis, kok tahan sendirian di rumah! Molly belakangan ini kesepian tidak ketemu Kiki,” kata Tante Sali. Kiki menggeleng. Lalu menutup jendela cepat-cepat sebelum tante yang gemuk itu mendesaknya bermain ke situ. Rupanya Tante Sali tidak tahu bahwa Kiki lagi marah pada Molly, anjingnya itu. Kiki sebal Molly mau seenaknya saja. Kalau ia lagi ingin main, Kiki dikejar-kejarnya. Coba kalau lagi malas, Molly tidak memperdulikannya! Lebih baik bermain dengan si Putih saja! gerutu Kiki dalam hati. Si Putih… Komplikasi “Ngeong… Ngeong….” Terdengar suara kucing. Kiki segera berlari ke luar. Beberapa anak laki-laki sedang menghajar si Putih di rumah sebelah. Ada yang menendang, memukul pakai sapu, dan menarik-narik ekornya. Kucing itu hanya bisa mengeong-ngeong kesakitan. Beberapa kali ia mencoba melarikan diri, tapi tertangkap kembali. Tante Sali menyaksikan itu dengan senang sekali. Bahkan ia menyemangati anak-anak itu. Sedangkan Kiki yang berdiri di sebelahnya berurai air mata. Hatinya yang polos dan lembut tak bisa menerima tindakan semena-mena itu. Ketika Ibu pulang dari bekerja, Kiki mengadu sambil terisak-isak. Ibu menenangkan anak satu-satunya itu dan berjanji. “Kalau Nyonya masak daging, nanti Ibu bawa tulang-tulangnya pulang. Untuk kucing pencuri itu. Biar ia tidak lapar. Biar tidak mencuri lagi,” kata Ibu. Ibu bekerja jadi pembantu di rumah Nyonya Maria. Sejak masih gadis Ibu sudah bekerja di sana. Ibu berhenti bekerja ketika menikah dengan bapak Kiki. Setelah suaminya meninggal, Ibu bekerja kembali di sana. Ketika tahu Ibu sering membawa pulang tulang-tulang ikan untuk kucing, Nyonya Maria malah memberi daging untuk Kiki. Nyonya Maria maklum keluarga kecil itu tentu jarang makan daging. “Wah, daging, Bu!” seru Kiki ketika melihat apa yang dibawa ibunya pulang. “Untuk si Putih?” “Ini gulai. Untuk Kiki saja,” kata Ibu. “Tulang-tulangnya baru kasih si Putih.” “Nyonya Maria baik sekali ya, Bu. Kalau sudah besar, Kiki mau bekerja di sana juga,” kata Kiki. Ia makan dengan lahapnya sambil tak lupa bercerita tentang si Putih. Resolusi Si Putih, kucing pencuri itu, kini menjadi sahabat Kiki. Mulanya memang sulit untuk mendekati Putih. Kucing itu selalu curiga dan waspada. la pasti lari bila didekati. Hanya bila lapar saja, ia mencari Kiki. Karena ia tahu Kiki menyediakan tulang untuknya. Namun, lama-lama kucing itu menyukai Kiki juga. Kiki satu-satunya manusia yang berlaku hangat dan manis padanya. Kini Putih berubah menjadi kucing yang bersih dan manis. Ia tidak lagi kumal, liar, dan sumber keributan. Sampai-sampai Tante Sali pangling melihatnya. “Astaga… Ki, ini kan kucing jahat itu!” serunya terbengong-bengong. “Sudah lama ia tak mencuri lagi!” “Soalnya Putih tak lapar lagi, Tante,” sahut Kiki. “Kiki memberinya makan.” “Ih, baik begitu, Ki!” “Kata Ibu, kucing juga mengerti bila disayang. Kalau Kiki mau baik dan sayang pada Putih, pasti Putih juga baik dan jinak.” Lama Tante Sali termangu. Ia merasa disindir. la malu sekali. Bagaimana mungkin, selama ini ia bisa bersikap begitu kasar terhadap seekor kucing kecil yang kelaparan? Cerpen berjudul Suatu Sisi Dalam Hidupmu Suatu Sisi Dalam Hidupmu Oleh Andriani Orientasi Siang ini begitu teriknya, matahari bersinar tak ada kompromi, menyengat dan membakar bumi, begitu panasnya. Aku berjalan terseok-seok membawa satu bakul nasi, yang harus masih panas, dua termos air panas dan dua lembar kain lap bersih. Ah, emak, kalau bukan karena perintah emak, aku tak akan mau membawa barang berat ini. Tapi emak, emak yang memerintah! Aku tak mau dibilang anak durhaka. Jadi, yah, siang yang panas ini aku harus mengantar pesanan emak. Emak adalah tulang punggung keluarga, kalau tidak ada emak mungkin aku tidak bisa merasakan nikmatnya sekolah, belajar, berteman, dan semua yang menyenangkan. Sedangkan bapak, bapak tidak bisa diandalkan. Setiap hari selalu saja berjudi. Kalau tidak berjudi, ya, tidur molor di rumah. Dia sangat menyebalkan, tapi walaupun menyebalkan dan aku membencinya, dia adalah bapakku. Kasihan emak yang selalu menderita, kadang aku berpikir, coba kalau emak jadi bapak dan bapak jadi emak, mungkin keadaannya akan lebih lumayan. Rangkaian Peristiwa “Aduh…”, tiba-tiba aku menabrak seseorang. Krompyang…krompyang…krompyang, semua bawaanku jatuh berantakan, tapi untung saja bakul nasi sudah kubungkus dan kuikat rapat-rapat, kalau tidak, wah gawat, emak bisa nyanyi nih. Eh, iya, siapa yang kutabrak tadi, ya? Aku mengangkat kepala dan, ya ampun!!! Kerennya, aduh mak, pakai dasi, rapi, necis, waduh-duh! Mesti orang gedongan nih. “Maaf…”, tiba-tiba dia bersuara. Aduh emak, copot jantungku. Waduh, gimana ya, gawat bin gawat nih. Wah, keadaan darurat…, cepat-cepat aku membereskan bawaanku dan cepat-cepat ku ayunkan kakiku, baru beberapa langkah… “Eh, nona, permisi, maaf, aku tadi tidak sengaja”, katanya lagi. “Sudahlah, aku yang salah. Maaf ya, permisi”, kataku kemudian dan akupun berjalan tergesa-gesa meninggalkannya. Dari kejauhan dia masih memanggilku, “Nona, nona tunggu!”, tapi aku tak menggubrisnya. Aku malu! Bagaimana tidak? Dandananku amburadul, dan dia necis. Oh, dia, dia memanggilku nona, hi..hi..hi, lucu juga ya. Seumur-umur baru kali ini aku dipanggil nona. Ah, sudahlah, kalau melamun terus bisa-bisa nanti menabrak lagi. Komplikasi Ah, capeknya, dari tadi siang aku harus membantu emak melayani pembeli. Lumayan banyak sih, sopir-sopir bus, sopir truk, penumpang-penumpang bus. Walaupun setiap hari dapat untung banyak, tetapi kalau aku sih, lebih baik tidak dapat uang daripada capek, tapi gimana lagi ya?! Setiap hari kehidupanku selalu begini, pagi sekolah, siang sampai malam membantu emak. Malam hari, setelah membantu emak, aku belajar. Untungnya, aku tidak mempunyai adik maupun kakak, jadi kasih sayang emak selalu terlimpah padaku. Setiap aku datang ke warung emak untuk membantu, emak sembari melayani pembeli, selalu menanyakan bagaimana keadaanku, tentang sekolahku dan mengenai teman-temanku. Dan akupun selalu menjawabnya dengan antusias dan bersemangat, walaupun aku tahu kalau emak kadang memperhatikan kadang pula tidak mendengarkan, tapi aku peduli, karena dengan bercerita pada emak, aku dapat menumpahkan semua isi hatiku. Aku merasa puas, walaupun aku terlahir dari keluarga yang tak mampu, aku tak menyesal. Aku mempunyai emak yang selalu menyayangiku dan selalu mencukupi kebutuhanku walaupun masih kurang. Ah, itu tidak apa-apa. Tapi aku tak mau menceritakan bapak, karena aku memang tak tau apa yang harus diceritakan, lain halnya jika aku menceritakan emakku. Kalau sedang tidak ada pembeli, kadang aku duduk melamun melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuk jenisnya berlalu lalang. Dari orang yang berdasi dan bersaku tebal sampai anak kecil yang tak berbaju. Sebenarnya Tuhan itu Maha Adil, diciptakannya bermacam-macam manusia, ada yang kaya, ada yang miskin, yang kaya harus membantu yang miskin, dan yang miskin harus menghormati yang kaya. Ah, benar-benar komplit. Pada suatu sisi, ada orang yang makan dengan lahap segala makanan yang terhidang di hadapannya, di sampingnya duduk seekor anjing kecil, manis, tapi menurutku menjijikkan juga karena lidahnya yang selalu terjulur keluar dan meneteskan air liur. Si wanita yang mempunyai anjing itu makan dengan lahapnya tanpa memperdulikan sekelilingnya dan setelah selesai, ia memberikan makanan yang belum disentuhnya pada anjing tersebut. Di sisi yang lain, ada seorang gelandangan yang mengais makanan di tong-tong sampah, jika mencari sisa-sisa makanan. Bila mendapatkan sisa makanan, tanpa memperdulikan apakah makanan itu layak atau tidak untuk dimakan, disantapnya dengan lahap. Begitu berbedanya suatu keadaan semacam ini. Kadang, aku berpikir jika aku mempunyai kuasa seperti Tuhan, aku akan mengubah semua keadaan ini. Ah, kubayangkan bagaimana jika yang kaya berubah menjadi miskin dan si miskin berubah menjadi kaya, tak bisa kubayangkan jadinya. Resolusi Adzan Ashar menggema, seiring dengan terdengarnya suara deru mobil di luar, lamunanku menjadi buyar. Ah, kenangan masa lalu dan akupun bangkit serta melihat dari balik gorden jendela. Di luar sana, suamiku bersama anak laki-lakiku yang baru pulang dari les baru turun dari mobil. Suamiku, orang yang kutabrak dulu. Aku tersenyum terkenang masa lalu, betapa indahnya. Aku pun berjalan menyambut mereka. Emak…, suatu kata yang penuh arti untukku. Baca Juga Kumpulan Contoh Teks Laporan Percobaan Singkat & Strukturnya Cerpen berjudul Lukisan Kasih Sayang Lukisan Kasih Sayang Oleh Widya Suwarna Orientasi Pak Saiful, seorang pelukis ternama, mempunyai seorang pelayan yang setia. Namanya Mumu. Biasanya setiap pagi Mumu membawakan perlengkapan melukis Pak Saiful, misalnya kanvas, cat minyak, dan kuas. Ia juga membawakan tikar kecil, air minum, dan makanan. Pak Saiful selalu melukis di tempat yang indah sekaligus mengerikan. Tempatnya di bawah sebatang pohon besar. Di sekitarnya terdapat rumput hijau dan bunga-bunga liar berwarna putih dan kuning. Kupu-kupu dan capung berkeliaran bebas di antara bunga-bunga itu. Kira-kira 15 meter ke arah selatan dari pohon itu terdapat sebuah rawa kecil yang permukaannya ditutupi oleh daun-daun teratai. Bunga-bunga teratai yang berwarna merah jambu menghiasi permukaan rawa itu. Namun, lumpur rawa itu selalu menelan benda apa saja yang terjatuh ke dalamnya, termasuk manusia. Rangkaian Peristiwa Suatu hari Pak Saiful baru saja menyelesaikan lukisannya yang sangat indah. Lukisan seorang anak kecil yang sedang menggendong dan membelai anjing kecil berbulu coklat. Siapa pun yang melihat lukisan itu pasti merasa tersentuh. Anak itu menyayangi anjingnya dan anjing kecil itu pun terlihat senang dalam pelukan si anak. “Mumu, coba ke sini dan lihat lukisanku!” kata Pak Saiful bangga. “Luar biasa, Pak, sangat indah! Pasti laku dengan harga mahal,” ujar Mumu. Kemudian Mumu kembali ke bawah pohon dan menyiapkan makanan dan minuman. Sementara itu Pak Saiful mundur beberapa langkah untuk memandang lukisannya lagi. Oh, semakin jauh jaraknya, lukisan itu semakin indah terlihat. Pak Saiful mundur beberapa langkah lagi dan memandang lukisannya kembali. Rupanya ia tak sadar bahwa ia tepat berada di tepi rawa. Sementara itu Mumu melihat majikannya yang sudah berada di tepi rawa. Alangkah berbahayanya. Bila Pak Saiful mundur selangkah lagi, pasti ia terjatuh ke dalam rawa. Mumu mendekati lukisan di bawah pohon dan mengangkat lukisan itu dari tempatnya. Pak Saiful berlari ke dekat pohon dan berkata dengan marah, “Apa-apaan kamu ini, Mu. Berani-beraninya kamu mau merusak lukisanku, atau mau mencurinya?!” “Maaf, Pak, maksud saya…!” jawab Mumu. Namun Pak Saiful tidak mau mendengar penjelasan Mumu. “Pergi kau dari sini. Aku tidak memerlukan pelayan yang kurang ajar!” seru Pak Saiful dengan wajah merah padam. Terpaksa Mumu pergi. Pak Saiful membereskan alat-alatnya dan membawa perlengkapannya pulang. Uuuh, rupanya berat juga. Komplikasi Esok paginya Pak Saiful membawa lagi lukisannya ke bawah pohon besar. Karena belum puas memandang, hari ini ia akan memandang sepuas-puasnya tanpa diganggu oleh Mumu. Mula-mula Pak Saiful memandang lukisannya dari dekat, kemudian ia memperpanjang jaraknya. Akhirnya ia sudah mendekati tepi rawa. Ia tak tahu di balik pohon besar ada sepasang mata mengawasinya. “Karya hebat. Aku sendiri pun hampir meneteskan air mata memandang lukisan itu. Orang akan tergugah untuk menyayangi binatang. Dan mereka akan berpikir bahwa kasih sayang itu sesuatu yang amat penting dan berharga!” pikir Pak Saiful. Tanpa sadar Pak Saiful mundur lagi dan… oooh… ia terperosok ke dalam rawa. “Tolooong… tolooong!” jerit Pak Saiful dengan panik. Ia sadar bahwa dirinya akan terhisap ke dalam lumpur rawa dan maut akan segera menjemputnya. Saat itulah Mumu muncul sambil membawa tambang. Ia sudah mengikatkan tambang di sebuah pohon besar dekat rawa. “Pegang tambang ini, Pak!” kata Mumu sambil mengulurkan tambang. Lalu Mumu cepat-cepat menarik tambang sekuat tenaga, menarik Pak Saiful dari rawa. Keringat bercucuran di wajah Mumu, namun akhirnya ia berhasil menyeret majikannya keluar dari rawa. Begitu tiba di rerumputan, Pak Saiful pingsan. Resolusi Ketika sadar, ia sudah berada di rumahnya dalam keadaan bersih, Mumu sudah mengurus segala sesuatunya dengan baik. “Terima kasih, Mumu, kamu menyelamatkan nyawaku!” kata Pak Saiful. “Maafkan aku!” “Tidak apa-apa, Pak. Saya senang Bapak selamat. Saya mengangkat lukisan Bapak kemarin karena saya ingin menarik perhatian Bapak. Bapak sudah berada di tepi rawa waktu itu. Saya kuatir Bapak akan jatuh. Tadi saya berjaga-jaga dan menyiapkan tambang karena saya kuatir Bapak asyik memandang lukisan dan terperosok ke dalam rawa!” kata Mumu. Mumu, si pelayan setia mendapat hadiah dan kembali bekerja pada Pak Saiful. Kasih sayang seorang anak pada anjingnya, kasih sayang seorang pelayan pada majikannya membuat Pak Saiful makin menyadari arti kasih sayang. Dan sebagai rasa syukur, Pak Saiful memberikan hasil penjualan lukisan itu pada panti asuhan. Cerpen berjudul Gara-Gara Nenek Lupa Gara-Gara Nenek Lupa Oleh Sarah Nafisah Orientasi Setiap akhir tahun, sekolah Rino libur. Di saat itu, Rino, Ayah, dan Ibu akan naik ke mobil dan berkunjung ke rumah Nenek Ida di desa. Nenek Ida mempunyai ladang. Rino suka sekali berlibur ke desa Nek Ida. Setiap pertengahan tahun, sekolah Rino juga libur. Namun di saat itu, giliran Nek Ida yang berkunjung ke rumah Rino. Begitulah cara keluarga Rino mengatur liburan. Agar tidak bosan, kadang mereka liburan di kota, kadang di desa pertanian. Rangkaian Peristiwa Akan tetapi, di tahun ini, Nenek Ida membuat kesalahan. “Aku yakin, saat ini, giliranku untuk liburan ke kota,” gumam Nek Ida yang mulai pelupa. Pelan-pelan, ia lalu mengemasi baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam koper. Pada saat yang sama, ibu Rino juga sedang mengemasi tas. Ibu tampak tidak bersemangat. Sambil menutup tasnya, ibu Rino berkata, “Ibu sebetulnya ingin sekali bisa liburan ke pantai. Sekaliii saja supaya tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya.” Rino dan adiknya langsung berseru setuju. “Aku juga ingin ke pantai, Bu! Jangan ke rumah Nek Ida terus atau cuma berkeliling kota ini. Bosan. Kalau liburan ke laut, kita kan bisa berenang dan menggali pasir. Yah, Ayah, tahun ini kita liburan ke pantai, saja ya?” seru Rino bersemangat. “Tentu saja tidak bisa, sayang,” kata ayah Rino. “Akhir tahun ini, kita akan mengunjungi Nenek seperti biasa. Jangan sampai Nenek kecewa dan bertanya-tanya kalau kita tidak datang. Tahun depan saja kalau mau ke pantai. Supaya Nenek juga sudah diberitahu jauh-jauh hari.” Rino jadi lesu. Namun, kata-kata ayahnya ada benarnya. Nek Ida pasti sedih kalau mereka tidak datang ke pertaniannya. Rino tak ingin membuat neneknya yang baik hati itu jadi sedih. Komplikasi Keesokan harinya, cuaca sangat cerah. Rino, Ayah dan Ibu naik ke mobil. Tak lama kemudian, mereka sudah ada dalam perjalanan menuju peternakan Nek Ida. Di sepanjang jalan yang agak macet dan panas, Rino masih berharap andai mereka bisa berlibur ke pantai. Karena ayah Rino mulai kehausan, ia menepikan mobil di dekat kafe pinggir jalan. Mereka bertiga turun dari mobil. Tiba-tiba, wajah ibu Rino tampak kaget, gembira dan dengan bersemangat menunjuk ke parkiran. “Lihat! Mobil itu mirip mobil Nenek!” Rino dan ayah menengok. Mereka bertiga lalu melangkah pelan mendekati mobil itu. Astaga, itu memang mobil Nek Ida. Nenek bersandar di pintu mobil dan sedang menyeruput jus jeruk. Seketika itu juga, Rino berlari dan memeluk neneknya. Ayah dan Ibu juga memeluk Nenek dan bertanya heran. “Ibu mau ke mana?” tanya Ayah. “Tentu saja mau ke rumah kalian!” kata Nek Ida heran. Namun ia lalu menyadari kesalahannya. “Astaga, harusnya, ini giliran kalian berlibur di pertanian, ya?” serunya. Resolusi Ibu Rino tersenyum cerah. “Tidak apa, Bu! Sekarang, kita buat rencana baru saja. Bagaimana kalau tahun ini kita bikin perubahan. Ibu mau kalau kita berlibur ke pantai?” tanya ibu Rino penuh harap. Wah, tak disangka, wajah Nek Ida berubah sangat ceria. “Tentu saja Nenek mau! Nenek mau bermain air laut!” kata Nek Ida penuh semangat. “Yeeeeeey… Nanti aku temani Nenek main air!” teriak Rino tak kalah girang. Rino, Ayah dan Ibu tertawa geli melihat Nenek dan cucunya yang bersemangat. Kini, ayah Rino sibuk melihat peta jalannya. “Hmmm! Sekarang ini, kita hanya berjarak sembilan mil dari pantai. Jadi, ayo kita ke sana sekarang!” ajak ayah Rino. Di mobil, Nek Ida tertawa dan berkata, “Liburan kita mungkin sudah mulai membosankan dan tercampur aduk. Makanya Nenek sampai lupa harus tetap di pertanian atau mengunjungi kalian! Syukurlah, Nenek membuat sedikit kesalahan!” “Semua orang pernah berbuat kesalahan, Nek. Tapi, kesalahan Nenek ini sungguh menyenangkan!” kata Rino. Mereka semua tertawa lagi. Dan ketika udara pantai yang asin mulai tercium, hati mereka semakin gembira. Cerpen berjudul Nasihat Iko Nasihat Iko Oleh Vanda Parengkuan Orientasi Mama Iko mengajak Iko ke rumah Tante Niken, teman akrab mama Iko sejak SMA dulu. Suami Tante Niken sedang keluar kota. Tante Niken mengundang mama Iko makan malam di rumahnya. Sekalian menemaninya berbuka puasa. Anak laki-laki Tante Niken bernama Rio. la seusia Iko. Dulu, Iko dan Rio sama-sama tukang ngompol. Tapi, sekarang Iko sudah tidak ngompol lagi. Rangkaian Peristiwa “Rio masih ngompol, Tante?” tanya Iko di meja makan. “Tidak!” jawab Tante Niken dan Rio bersamaan. “Wan, Rio pintar, dong, sudah tidak ngompol! Seperti saya!” ujar Iko sok tua. Tante Niken tersenyum geli mendengarnya. “Rio memang sudah tidak ngompol. Tapi ia masih susah makan! Tante jadi pusing! Harus masak apa supaya Rio doyan makan banyak!” keluh Tante Niken. la lalu mengisi piring Iko dan Rio dengan mi goreng. Itu makanan kesayangan Iko dan Rio. Tante Niken sengaja menyiapkannya untuk kedua anak itu. Tapi…, malas makan Rio rupanya sedang kumat! Komplikasi “Ukh! Mi gorengnya tidak enak!” keluhnya sambil memainkan sendok. Padahal menurut Iko, mi gorengnya lumayan enak. “Coba lihat! Rio susah sekali makan! Makanya kurus sekali!” keluh Tante Niken sedih. “Tidak enak, ya, mi gorengnya!” bisik Rio pada Iko. “Dulu juga aku sering tidak mau makan, kalau makanannya tidak enak. Tapi kata papaku, biar tidak enak, anggap saja enak! Nanti jadinya enak betulan!” nasehat Iko berbisik-bisik. “Ah, papamu aneh!” ejek Rio. “Eh, papaku itu hebat! Namanya Pak Tie. Kau harus kenalan dengannya! Supaya kau bisa makan banyak seperti aku!” bantah Iko sambil mulai memelintir mi gorengnya. “Coba lihat! Hebat, kan! Mi goreng bisa diplintir-plintir! Yang lebih hebat lagi…, aku bisa makan mi goreng plintir! Hmmm, nikmatnyaaa…” oceh Iko sambil melahap mi gorengnya. Rio terbingung-bingung mendengar ocehannya. “Makan mi goreng plintir, kok, dibilang hebat?! Apanya yang hebat?!” pikir Rio. Tapi perut Rio tiba-tiba terasa lapar. la tiba-tiba ingin sekali makan mi goreng. Resolusi Diikutinya tingkah Iko. Mi goreng itu diplintir-plintir lalu dilahap. “Hams sambil bilang, hmm…nikmaaat…!” perintah Iko. “Hmmm, nikmaaat…!” tiru Rio sambil mengunyah mi gorengnya. Mama Iko dan Tante Niken tersenyum geli melihat tingkah mereka. “Makan mi goreng plintir! Saktiii…” celoteh Iko lagi. “lya! Saktiii, dahsyaaat…!” Rio mulai ikut-ikut berceloteh. Keduanya tertawa. Mi goring itupun disantap lahap sampai habis. “Nyam nyam nyam! Wuah, jadi enak betulan, ya! Buka puasanya jadi seruuu!!” komentar Rio. “Ck ck ck! Iko, pintar membujuk, ya!” gumam Tante Niken kagum. “Iko cuma mengajar apa yang diajarkan papanya padanya!” ujar mama Iko sambil tersenyum. Beberapa hari kemudian Tante Niken dan Rio datang ke rumah Iko. Mereka membawa sebuah bingkisan. “Sekarang Rio tidak susah makan lagi! Itu karena Iko mengajari Rio cara makan yang nikmat! Nah, ini hadiah untuk Iko!” Tante Niken menyerahkan bingkisan itu pada Iko. Isinya permainan lego yang terbaru. “Asiiik!!” teriak Iko gembira. “Huuu, curang! Harusnya mainan itu buat Papa! Bukan buat Iko! Kan, nasehatnya dari Papa!” goda Pak Tie. “lyaaa, Iko ngalah, deh! Mainan ini buat Papa saja! Tapi sekarang Iko pinjam dulu, ya!” ujar Iko polos. Pak Tie, mama Iko dan Tante Niken terbahak-bahak mendengarnya. Baca Juga Kumpulan Contoh Teks Diskusi Lengkap berdasarkan Strukturnya Cerpen berjudul Kegemaran yang Langka Kegemaran yang Langka Oleh Widya Suwarna Orientasi Ibu Mimi berjualan makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin ibu Mimi. Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam. Nah, kaki ayam ini amat disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan … pokoknya nikmat. Waktu masih kecil Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bisa menghabiskan setengah lusin kaki ayam. Rangkaian Peristiwa Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti. Suatu siang, Rita dan Agnes datang saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya ada semangkuk kaki ayam, lengkap dengan cekernya. “Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan. Agnes dan Rita saling berpandangan, lalu tertawa. “Kenapa?” tanya Mimi tetap memegang sepotong kaki ayam. “Aku heran, kamu kok nikmat benar makan kaki ayam. Aku tak pernah mau memakannya!” jawab Rita. “Aku juga. Malah aku baru pernah lihat ada orang suka makan kaki ayam!” tambah Agnes. “Oh, ya? Aku kira banyak orang yang suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin kalian berdua saja tidak suka karena belum pernah mencobanya. Cobalah satu!” Mimi menawarkan. Rita dan Agnes menunjukkan wajah jijik. “Aku jadi ingin tahu berapa orang anak di kelas kita yang suka makan kaki ayam!” tiba-tiba Rita berkata. “Baik, besok aku akan menanyakan pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup banyak orang yang tahu lezatnya kaki ayam!” kata Mimi bersemangat. Komplikasi Esok harinya, Mimi membawa notes kecil dan menuliskan nama-nama kawan sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu tidak sulit. Ia melakukannya sebelum bel masuk berbunyi, waktu istirahat pertama dan kedua. Namun, hasilnya mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan sekelasnya suka makan kaki ayam. Sekarang Mimi mulai ragu-ragu. Jangan-jangan ia yang aneh karena suka makan kaki ayam. Apakah sebaiknya mulai sekarang ia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi, bisakah ia menghentikan kegemarannya itu? Masih tengiang-ngiang di telinganya jawaban kawan-kawannya, “Ih, aku sih jijik.” “Ayam biasanya mencakar di tempat-tempat sampah,” kata Yuli. “Ha, ha, ha, kamu suka makan kaki ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?” goda Dani. “Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!” kata Ine. Resolusi Sepulang sekolah wajah Mimi murung. la tak mengira kegemarannya itu merupakan kegemaran yang langka. “Sudah pulang, Mi? Itu di panci ada kaki ayam,” ujar Ibu. Mimi menggelengkan kepalanya. “Lho, ada apa?” tanya Ibu heran. Mimi menceritakan masalahnya, lalu berkata, “Ibu tak pernah bilang kalau banyak orang tak mau makan kaki ayam!” Ibu tertawa dan berkata, “Memangnya kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil keputusan apakah kamu mau meneruskan atau menghentikan kegemaranmu!” “Pertama, kalau kamu suka kaki ayam apakah dirimu menjadi rugi?” tanya Ibu. “Tidak!” jawab Mimi. “Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu kamu suka makan kaki ayam?” tanya Ibu lagi. “Tidak!” jawab Mimi. “Ketiga, apakah kalau misalnya si Rita suka makan daun pepaya yang pahit, semua anak di kelas harus mengikuti kegemarannya?” Ibu mengajukan pertanyaan yang terakhir. “Tidak!” jawab Mimi. “Kalau begitu, ambillah keputusan yang terbaik bagimu!” kata Ibu. Mimi tersenyum. Hilanglah keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lalu mengambil mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang dikerjakan Mimi, bukan? Baca Juga Cara Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen Cerpen berjudul Kancil dan Buaya Kancil dan Buaya Oleh Syrli Martin Orientasi Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di hutan bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan masih banyak lagi. Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai. Rangkaian Peristiwa Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang sangat rimbun di seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil. Komplikasi Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan hidupmu, sehingga kau datang kemari?”. “Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil. Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”. Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman akan merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara tersersebut”. “Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga. “Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging gajah pun juga ada.” “Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut dengan sedikit marah. “Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya. “Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil. “Iya, yakin”, jawab Kancil. “Baiklah, kali ini aku percaya kepadamu”, ujar para buaya. “Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah semua buaya yang ada di dalam sungai ini”. Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan mendapatkan makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya yang ada dalam sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke tepian sungai. Resolusi Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan menjulurkan lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan menuju pohon rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah rambutan yang dia inginkan. Cerpen berjudul Bendera Bendera Oleh Jelsyah Dauleng Orientasi Setiap tahun, Pak Lurah selalu menyampaikan kepada penduduk untuk memasang bendera sebulan penuh, selama bulan Agustus. Tapi hanya ada satu atau dua keluarga yang di depan rumahnya terpasang tiang bendera. Sudah termasuk Pak Budi yang tidak pernah absen untuk menaikkan bendera merah putih di tiang aluminium. Ia selalu merasa bangga di saat semua orang lupa dengan tanda kemerdekaan itu, meski ia hanya rakyat biasa, ia tetap mengingat. Tapi tahun ini sepertinya agak berbeda. Pak Budi mendapati seorang tetangga yang meminta tukang jahit di pasar untuk dijahitkan bendera merah putih sekaligus bendera hias. Ia harusnya senang, lebih banyak orang lagi yang akan merayakan hari ulang tahun Indonesia. Hanya saja ada masalah lain. Hari ini—tanggal 1 Agustus—sesampai di rumah, sepulang dari pasar untuk menjual sayur-mayur hasil panennya, ia memanggil istrinya. Rangkaian Peristiwa “Bu, bendera mana?” tanya Pak Budi. Hanya saja Bu Tin, istri Pak Budi tidak menjawab. Ia sedang ngambek, belum dikasih uang belanja. “Aku ini belum makan,” katanya tak sesuai dengan pertanyaan Pak Budi. “Memang kenapa tidak makan,” Pak Budi jadi agak kesal. Padahal kemarin ia habis menjala di sungai dan ia yakin di lemari pendingin masih ada ikan, bahkan ada udang. “Bendera mana bu?” tanyanya lagi. “Ada di lemari mungkin, Pak,” putrinya, Ani, yang lalu menjawab. Remaja enam belas tahun itu keluar dari kamar dan mendapati wajah masam kedua orang tuanya. “Memang sudah mau dipasang?” Melihat Ani yang tak sependapat dengan kekesalannya, Bu Tin coba menenangkan diri. Ia lalu bergerak mencari kain yang dimaksud suaminya. Pak Budi menggerakkan kepala. Menarik sudut bibirnya saat Bu Tin kembali ke ruang tengah dengan bendera di tangan istrinya itu. Ia meraih, bendera hias berwarna kuning disingkirkannya dan melihati bendera merah putih yang selalu bangga berkibar pada tiang di depan rumahnya. Hening, untuk beberapa saat. “Bu Tin,” teriak salah satu tetangga dari luar, memecah keheningan. Ia dan lainnya mulai memasang bendera merah putih dan bendera panjang berwarna warni pemberian pak lurah. Bu Tin segera mengerti dan mencoba meraih bendera merah putih dari tangan suaminya, ia terkesiap saat bendera itu tidak terlepas dari Pak Budi. Komplikasi Ani menoleh, seketika mendapati wajah sedih ayahnya. Diingatnya kalimat yang selalu dikatakan ayahnya, “bagi kita bendera ini pertanda kalau kita telah merdeka.” Ia menggigit bibir. Meski mereka hanyalah keluarga sederhana yang kadang sehari dua hari tak ada pemasukan, tapi ayahnya tak ingin berbeda dari warga Indonesia lainnya, selalu ingin ditunjukkannya pada orang-orang bahwa ia juga telah merdeka. Maka saat bendera tanda merdeka ayahnya tak lagi berwarna merah-putih, ia tahu ada kemunduran yang terjadi di keluarga mereka apabila bendera yang sekarang berwarna jingga-putih kekuningan itu tetap berkibar di tiang. “Kita beli yang baru, bu,” kata Pak Budi, lebih pada dirinya sendiri. “Apaan sih, pak? Uang makan saja tidak cukup,” dengus istrinya. “Ini masih bagus, cuman warnanya saja yang agak pudar. Pak Kur yang kaya saja, tahun lalu masang bendera yang jahitannya sudah lepas-lepas. Sini pak,” Bu Tin masih mencoba menarik, tapi masih tak terlepas dari tangan suaminya. “Besok saja dipasangnya, bu,” keputusan Pak Budi membuat Bu Tin mendengus dan keluar menginfokan pada tetangga bahwa ia belum beli yang baru. Resolusi “Kudengar Pak lurah bagikan bendera hias, katanya biar kompak dibanding kelurahan lainnya,” Ani melihat keluar jendela, melihati bendera hias panjang yang bertuliskan nama kelurahan di ujung bawah. Pak Budi duduk. Menghela nafas. “Bukan bendera merah putih,” gumamnya. “Kalau pun ada, lebih baik bapak beli sendiri. Nanti, habis acara tujuh belasan, pasti diambil lagi.” “Kalau ada rezeki, besok bapak bisa beli yang baru,” kata Ani memperbaiki posisi duduknya di kursi kayu di sebelah ayahnya, bersiap mengerjakan tugas yang lebih banyak dari biasanya. “Kalau tidak, pasang yang ada saja. Lagi pula, bendera ini lebih berkesan, sudah bertahun-tahun berkibar.” Pak Budi mencoba tersenyum. Ia yakin sudah bekerja keras setiap tahunnya, tapi sekarang masih belum bisa ganti bendera. Kalau saja ia tak pernah mengatakan pada orang-orang kalau bendera adalah tanda merdeka seseorang, ia mungkin tak pernah merasa malu memasang bendera warna jingga-putih kekuningan ini. Pandangannya lalu tertuju pada cover buku paket Sejarah putrinya di atas meja, dengan gambar candi, beberapa orang berjas, dan juga bendera merah putih. Ah, ia harus bekerja lebih keras dan mencoba menghargai dibanding memberi harga. Cerpen berjudul Kerbau dan Jalak Kerbau dan Jalak Oleh Vara Orientasi Pak Falo adalah seekor kerbau hitam berbadan besar dan mempunyai tanduk yang amat panjang. Hari ini, ia benar-benar gundah. Badannya gatal bukan kepalang. Ia sudah mencoba mengusir rasa gatal itu dengan selalu mengibaskan ekornya. Namun, rasa gatal itu tak juga hilang. Sementara itu, mulutnya terus saja mengunyah rumput hijau yang terhampar di padang luas, sambil sesekali mengo’a karena rasa gatal yang tak tertahankan. Cuit-cuit, cuit-cuit, cuit-cuit, suara si Jali riang gembira. Jali si jalak, burung mungil pemakan kutu yang hampir setiap hari menyanyi di atas pohon di dekat pak Falo biasa makan rumput. Jali biasanya melihat pak Falo yang riang gembira. Namun tidak kali ini, pak Falo hari ini terlihat gundah. Rangkaian Peristiwa “Apa gerangan yang terjadi padamu pak Falo?”, tanya Jali. “Badanku gatal sekali”, jawab pak Falo sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Pak Falo sudah mengusir rasa gatal itu dengan mengibas-ngibaskan ekornya, namun usahanya sia-sia. Rasa gatal itu semakin menjadi. “Kamu belom mandi ya?”, tanya Jali. “Rumahku jauh dari sungai, jadi aku jarang mandi”, jawab pak Falo sambil mengusir rasa gatal di badannya dengan mengibaskan ekor. “Pantas saja, pasti badan kamu banyak kutunya, karena kutu-kutu itu suka tinggal di tempat yang kotor”, kata Jali. Pak Falo mengangguk setuju. Pak Falo meminta bantuan kepada Jali untuk menyelesaikan masalahnya. “Baiklah kalo begitu, bersiaplah aku akan selesaikan masalahmu”, kata Jali. Jali pun bersiap untuk terbang. Jali mulai mengambil nafas panjang, menegakkan lehernya, memandang langit, dan dengan secepat kilat, ia terbang tinggi. Kemudian, ia berputar-putar dan tidak berapa lama Jali menukik tajam dari atas ke badan pak Falo. Komplikasi “Hei Jali, apa yang kamu lakukan? Kamu mau membunuhku ya?”, teriak pak Falo sambil berlari menghindari serangan Jali. “Berhenti!!! Jangan lari kamu!”, teriak Jali. “Tidak! Tidak…!! Tidak…..!!!”, teriak pak Falo sambil terus berlari. Jali tak mau kalah, ia terus mengejar pak Falo. Bahkan, jali terbang lebih kencang dari sebelumnya. Pak Falo tidak mau jadi sasaran Jali. Dengan cepat, ia masuk ke dalam hutan dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Jali kehilangan jejak pak Falo. Sambil terengah-engah, Jali hinggap diatas ranting sebuah pohon, memperhatikan keadaan sekitar. Dari balik batu, pak Falo pelan-pelan mengintip, dan pelan-pelan berpindah tempat ke batu yang lain untuk menjauhi Jali. Namun, tanpa sengaja, pak Falo terpeleset dan jatuh, sehingga menimbulkan suara gemuruh yang menyebabkan Jali mengetahui keberadaan pak Falo. “Pak Falo……!”, teriak Jali sambil terbang mengejar pak Falo. “Duh, aku jatuh, habislah aku sekarang”, kata Pak Falo. Jali semakin dekat dengan pak Falo dan tiba-tiba…. “Stop…!!!” Ada suara keras yang mengagetkan mereka berdua. Ternyata, suara itu datang dari Raja Sing, Singa sang penguasa hutan. “Apa yang kalian berdua lakukan. Kalian telah mengganggu istirahatku”, kata Raja Sing. “Jali mengejarku Raja Sing, dia mau membunuhku”, kata pak Falo dengan nada memelas. “Tidak raja, aku bukannya ingin membunuhnya. Justru, aku ingin membantu menyelesaikan masalahnya”, sanggah Jali membela diri. Mereka berdua kemudian berdebat dan saling menyalahkan. “Sudah, cukup. Bila seperti ini terus, kapan akan selesai?” bentak Raja Sing. Mendengar bentakan Raja Sing, akhirnya mereka diam sambil menundukkan kepala. Resolusi “Apa masalahmu Falo?”, tanya Raja Sing. “Aku tadi sedang makan rumput diladang. Aku merasakan tubuhku gatal semua. Kemudian, Jali datang. Dia bertanya kenapa aku bertingkah aneh. Lalu, aku jawab bahwa tubuhku gatal-gatal dan tiba-tiba dia menyerangku. Aku pun lari menghindari serangannya.” “Tapi tubuh Jali kecil, sedangkan kulitmu keras, bagaimana kamu punya pikiran bahwa Jali akan membunuhmu?”, tanya Raja Sing. “Tapi dia tadi menyerangku raja”, kata pak Falo. “Maaf raja, aku bukannya hendak membunuhnya. Justru aku ingin membantunya. Aku melihat banyak kutu ditubuh pak Falo, dan itu adalah makanan kesukaanku. Aku hanya ingin memakan kutu-kutu itu tanpa menyakiti pak Falo”, jelas Jali penuh semangat. Raja Sing pun akhirnya tahu duduk permasalahannya. “Oh, begitu masalahnya. Jadi sekarang sudah jelas kan semuanya. Ayo sekarang bermaafan”, kata Raja Sing. “Baiklah Raja Sing”, mereka berdua menyambut. “Ayo, Jali, segera naik ke punggungku, habiskan kutu-kutu yang ada di tubuhku”, kata pak Falo sambil tersenyum. “Iya pak Falo”, teriak Jali. Pak Falo memakan rumput hijau kesukaannya, sedangkan Jali memakan kutu-kutu yang ada di tubuhnya. Mereka berdua gembira dan menghabiskan hari itu dengan perut kenyang. Sementara Raja Sing kembali ketempat istirahatnya. Baca Juga Cara Menganalisis Unsur Ekstrinsik Cerpen Nah, dengan melihat contoh cerpen singkat tadi, apakah kamu menjadi lebih tahu mengenai pengertian dan struktur cerpen? Kamu juga bisa mulai mencoba menganalisis struktur dari cerpen yang kamu baca sehari-hari, lho. Buat yang belum paham, yuk belajar lewat video beranimasi di ruangbelajar! Selain video belajar beranimasi, ada juga soal latihan beserta pembahasannya dan rangkuman. Referensi Nafisah, Sarah. 2020. Cerpen Anak Gara-Gara Nenek Lupa. Diakses dari pada 7 Oktober 2022. Narakata. 2022. Cerpen Suatu Sisi Dalam Hidupmu Karya Andriani. Diakses dari pada 7 Oktober 2022. Suherli dkk. 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas 11. Jakarta Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud. Trianto, Agus dkk. 2018. Bahasa Indonesia edisi revisi. Jakarta Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud. Toemon, Sylvana. 2018. Lukisan Kasih Sayang. Diakses dari pada 7 Oktober 2022. Martin, Syrli. 2016. Si Kancil dan Buaya dari pada 22 November 2022. Vara. 2014. Kerbau dan Jalak dari pada 22 November 2022. Artikel ini pertama kali ditulis oleh Shabrina Alfari dan telah diperbarui oleh Adya Rosyada Yonas pada 22 November 2022. Dunia remaja menjadi masa yang penting bagi setiap orang. Karena pada tahap itu banyak hal-hal yang terjadi untuk pendewasaan diri. Tak sedikit juga banyak penulis yang menuangkannya dalam cerita pendek. Cerpen remaja menjadi daya tarik sendiri karena mengisahkan masa-masa remaja. Berikut ini ialah 10 contoh cerpen remaja yang bisa kamu baca. Berbeda Jalan Sumber composita dari Pixabay Sari melangkahkan kaki dengan tergesa. Ia sudah terlambat 10 menit dari jadwal busnya hari ini, sehingga ia tertinggal bus jemputan. Ia perlu keluar dari gerbang komplek dan mencari ojek. Hari ini semakin sial, tidak ada satupun ojek di pangkalan. Hari Senin seperti ini memang biasanya menjadi sangat sibuk, begitu pun tukang ojek. Di seberang jalan, ia melihat sosok lelaki yang menertawakan raut wajahnya. Sari semakin mendengus kesal, lelaki itu semakin menertawakannya. Dialah Ario. Ario dengan motornya mendatangi Sari di seberang Jalan dan menawarkan untuk mengantarnya. Awalnya Sari menolak, karena pasti Ario, teman masa kecilnya akan mengejeknya habis-habisan di jalan. Tapi, di saat tergesa, akhirnya Sari pun menerima ajakan Ario. “Gimana rasanya terlambat sekolah?” Tiba-tiba Ario bertanya saat di perjalanan. “Ya sama aja kayak kamu terlambat ke turnamen lah.” Jawab Sari asal-asalan. “Aku sih gak pernah terlambat turnamen, Sar. Hahaaa” “Bodo amat, cepet ngebut!” Ario pun yang terkekeh kembali mengencangkan gasnya. Ario memang atlet bulu tangkis yang sudah tidak pernah sekolah umum sejak SMP. Ia memilih fokus untuk menjadi atlet dan memilih dwelling house schooling. Dari teman masa kecil Sari, Ariolah yang sudah memantapkan diri menjadi apa yang ia mau. Walau berbeda jalan dengan Sari, Ario selalu menemukan cara untuk menikmati masa remajanya. Sesampainya di sekolah, Ario mengucapkan, “Belajar yang rajin ya Bu Dokter!” Sari tersenyum, sambil terkekeh. Merasa senang dan puas, entah mengapa. Baca juga 10 Cerpen Cinta Dengan Berbagai Pesan Radio FM “Yuk kita dengarkan lagu Melly Goeslaw, yang berjudul Ku Bahagia’. Selamat Mendengarkan!” Lagu itu dirilis 2002 bersamaan dengan film terfenomenal pada masanya, yaitu Ada Apa dengan Cinta. Kedua ikon itu seolah mengisi masa remajaku saat itu. Dan hari ini, di penghujung 2019, aku berdiri kembali di sekolah ini, dengan radio yang sama, dan lagu yang sama. Aku takjub, ekskul radio ini masih terus bertahan, di tengah banyaknya aplikasi musik di HP siswa zaman sekarang. Apabila tak ada keperluan untuk legalisir ijazah, tak mungkin aku mendengarkan lagi siaran-siaran dari radio sekolah ini. Lagu itu seolah membawaku bagaimana aku masih aktif di radio sekolah dan menghabiskan masa mudaku dengan teman-teman. Masa itu seolah memanggilku kembali. Di lorong sekolah menuju kantor, dahulu tidak ada atapnya. Sekarang dilengkapi atap berwarna biru tua. Memang benar, sekolah ini sudah bermetamorfosis sempurna. Aku jadi teringat ketika dahulu kehujanan basah kuyup dari kantor sampai ruangan kelas sehabis mengantarkan tugas. Kemudian secara tiba-tiba, Pak Mustofa mendatangiku. Pak Mustofa merupakan guru seni yang menjabat juga sebagai pembina radio. Keriputnya kini semakin banyak, tetapi, gaya dan jiwanya tak pernah kelihatan tua. Setelah saling bertukar kabar, ia pun mengantarkanku pula ke ruang TU. “Inikan lagu kesukaan mu sama gengmu, ya, Nay” “Yaampun, Bapak, masih inget aja.” “Mereka pada gimana, Nay sekarang? Resti, Kiki, dan Lia?” “Baik-baik, Pak” Jawabku singkat, “Sepertinya..” jawabku dengan suara pelan. Aku jadi teringat mereka bagaimana menghabiskan masa SMA dengan suka duka. Mengerjakan tugas bareng, ke kantin bareng, mengurusi segala hal tentang radio, sampai lulus bareng dan kita masing-masing tak tahu kabar lagi. Entah mengapa aku menjadi rindu hal tersebut. Setelah dari sini, aku putuskan untuk mencari mereka dan mengembalikan masa remajaku. Apapun yang terjadi. Perpustakaan Kota Sumber foto composita dari Pixabay Aku menaiki anak tangga perpustakaan itu. Dengan seragam putih abuku yang sudah lusuh karena seharian aku beraktivitas di sekolah, aku memaksakan untuk menukarkan buku di perpustakaan kota. Buku bercover warna biru putih itu sudah lama belum aku kembalikan. Jika aku menundanya lagi, sudah pasti tunggakanku semakin banyak. Aku tak selesai membacanya karena hanya berisi cerpen remaja yang remeh temeh tentang cinta. Setelah sampai ke meja pustakawan, terlihat pustakawan sudah siap-siap mau pulang. Segera, aku bilang untuk memberitahu ingin mengembalikan buku. Hanya saja, Ibu pustakawan yang sudah beruban itu bilang, “Diurus sama mas yang itu, ya. Lagi magang dia. Reno, sini No.” Sosok tinggi berusia 20 tahunan itu menghampiri meja pustakawan. “Ibu pulang duluan ya, No. Anak bakal rewel nih” “Ah iya bu,” Lelaki itu hanya tersenyum sopan. Lantas ibu itu pergi keluar dan menyisakan kami berdua. “Bidhari, ya.. tunggakannya ujarnya sambil mengecek di layar komputer. Kuserahkan uang itu kepadanya, lantas ia tersenyum sambil menerima uangku, “Namanya bagus” “Terima kasih, Mas” hanya itu yang bisa kuucapkan. Karena terlalu salah tingkah dengan pujian yang aku terima. Pasalnya baru pertama kali ada yang memuji namaku. Segera aku berbalik arah dan mencoba tidak berbalik. Namun, Ia memanggilku dan menyusulku. Ia pun menghalangi jalanku dengan postur tubuhnya. “Kartu perpusnya ketinggalan, Dek” ujarnya sambil tersenyum. Aku kembali kikuk dan mengucapkan terima kasih. Sepertinya kikukku terlihat jelas olehnya. Segera kupercepat langkah juga. Namun, saat perjalanan pulang, aku terus memikirkannya. Inikah yang dirasakan para tokoh-tokoh remaja di buku cerpen remaja saat jatuh cinta? Sekarang, aku menjadi tahu apa yang harus kulakukan sesering mungkin ke perpustakaan kota. Baca juga 10 Cerpen Persahabatan Dengan Banyak Pesan Terbalik Gadis itu terpaku. Matanya sinis terhadap apa yang ia lihat. Ia melihat sosok gadis seumuran dengannya bermanja ria dengan orangtuanya duduk di resto. Ia yang melihat pemandangan dari luar buffet itu hanya bisa berdiam. “Kamu kenapa, Ri?” sapaan temannya menghentikan lamunannya “Gak apa-apa, ayo kita ke rumah Jihan!” Riri ceria kembali dan menyembunyikannya dari teman-temannya. Gadis berusia 15 tahun itu menguncir rambutnya sambil jalan. Sifatnya yang ceria membuat siapapun senang berteman dengannya. Ia pun disegani guru-guru karena pintar dan sopan. Tapi, tanpa orang-orang sadari, ia memiliki lubang hitam di hatinya yang belum terlihat oleh siapapun. Jarak antara sekolah SMP dan rumah Jihan hanya beberapa meter, alhasil mereka hanya jalan dan masuk ke kompleks rumah. Pada saat perjalanan pulang, Jihan yang berjalan di depan menghentikan langkah. “Ri! Ri! Itu bapak kamu kan?” Jihan menunjuk mobil yang ditumpangi bapaknya Riri. Terlihat juga ada seorang wanita muda yang duduk di jok sampingnya. Riri berdiam lalu kembali berlari ke arah sekolah. Tak mau melewati mobil Ayahnya yang sedang bersama wanita selingkuhan. Sontak teman-temannya pun mengejar, dan merasa kebingungan. Mereka memanggil-manggil Riri, namun tak digubris. Sampai akhirnya di taman sekolah yang sudah sepi, mereka menemukan Riri tersungkur di pojok dinding taman. “Tenang ya, Ri.” ujar Hana “Kita bakal bantu kamu kok apapun yang terjadi.” ujar Jihan sambil memeluk Riri Pada hari itu, menjadi hal yang akan diingat oleh Riri. Bahwa masa mudanya tidak selalu berjalan mulus. Akan selalu ada kepedihan yang akan diingat. Salah satunya ialah masalah keluarganya. Untungnya teman-teman Riri bisa diandalkan. Riri pun menjadi tenang kembali. Jono dan Kepala Sekolah Lelaki bertubuh agak gempal itu seringkali memasuki sekolah tanpa atribut lengkap. Ditambah selalu mengeluarkan baju seragamnya. Ia pun berteman dengan anak-anak nakal yang terkadang suka rusuh di sekolah. Tetapi, ia pintar bukan kepalang. Semua orang mengetahuinya saat pertama kali MPLS Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMP ku. Pasalnya, ia adalah orang yang berani bersuara tentang kebijakan MPLS. “Maaf Kak, saya izin bertanya. Untuk apa ya kami disuruh bawa semua barang ini? Apalagi barang-barang ini cukup banyak dan harganya di atas Kalau ada orang yang kurang beruntung, bagaimana?” Kakak-kakak OSIS itu mencoba menjelaskan sedetail mungkin, tapi tetap saja suara riuh peserta MPLS membuat OSIS juga terbungkam. Alhasil, barang-barang yang tadinya dikatakan akan dijadikan hadiah bagi para peserta terbaik, menjadi tidak wajib untuk dibawa oleh peserta. Hanya peserta yang mampu saja yang diwajibkan untuk membelinya. Ialah Jono yang berani mempertanyakan kebijakan itu. Selama MPLS, ia tetap mengikuti peraturan sekolah, hanya saja ia berani mengeluarkan unek-uneknya secara langsung di depan panitia. Setelah seminggu, akhirnya MPLS pun selesai. Saat upacara penutupan, Jono dipanggil ke depan lapangan oleh Kepala Sekolah. “Ananda bernama Jono Laksono, silahkan keluar dari barisan. Dan ke depan” Sontak semua peserta, panitia, dan guru-guru pun saling berpandang. Awalnya Jono ragu untuk mendatangi Kepala Sekolah di depan halaman, namun akhirnya ia memberanikan diri. Orang-orang menyangka, Jono akanditegur atau dihukum karena membantah pada saat MPLS. Tapi, ternyata.. “Terima kasih, Jono. Kamu sudah mengkritik beberapa hal yang tidak etis saat adanya MPLS ini.” Pak Kepala Sekolah justru mengucapkan terima kasih di depan semua orang dan sehabis itu menyalami Jono. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba terdapat tepuk tangan lalu menjadi riuh. Aku ingat saat itu Jono sangat senang. Sampai saat ini, ketika ia berdiri di lapangan lagi karena memenangkan lomba Sains, aku tersenyum. Aku mengingat obrolan dengannya waktu pertama kali bertemu saat MPLS. “Jangan terlalu menilai dari kulitnya. Tidak ada yang tahu, isinya arang atau emas” Ujar Jono kala aku menyempatkan diri untuk berkenalan dengannya. Ballerina Sumber foto Vladislav83 dari Pixabay Gadis dengan rambut dicepol itu segera memasuki panggung. Riuh penonton yang hadir membuat semangatnya semakin membahana. Kakinya mulai menjijit badannya meliuk, berputar, dan menari sesuai irama. Di kursi penonton, ada sosok yang membelalakan matanya. Baru pertama kali inilah ia menonton pertunjukan balet remaja di gedung kesenian. Kalau bukan karena sepupunya yang bernama Anis memaksanya untuk ikut, ia tidak akan berada di tempat itu. “Bang.. blindside.. Temenku hebat kan?” Anis yang telah berusia 15 tahun itu bertanya. Padahal, jarak perbedaan usianya hanya dua tahun. “Oh itu, iya” Jawab Abang dingin. “Halah Blindside Gifar, kamu takjub juga kan liat penampilannya” Anis menggoda Gifar dengan menyenggol sikutnya. Gifar tak bergeming. Selesai pementasan tunggal itu, Anis mengajak ke belakang panggung. Tentu saja dengan menyeret Gifar. Pada saat itulah Gifar melihat secara langsung dengan jarak dekat mata penari balet itu, yang bernama Kalia. Gadis kecil itu seumuran dengan Anis, tak ada yang aneh, hanya saja mata Kalia memancarkan semangat yang penuh terhadap hal yang disuka, yaitu balet. Saat di perjalanan pulang, Anis tak berhenti mengoceh tentang Kalia. Gifar mendengarnya sayup-sayup karena beradu dengan suara motor lainnya. Anis bercerita, Kalia sudah memenangkan banyak penghargaan balet. Kalia memang sudah sejak dari usia v tahun diperkenalkan dengan balet. Sejujurnya, dalam hati Gifar, ia sangat tersanjung dengan penampilan Kalia. Ada momen menarik ketika Kalia tersenyum, terlebih di atas panggung. Penampilan Kalia membuatnya sadar, bahwa ia belum bisa memancarkan senyum yang tulus terhadap hal-hal yang ia suka. Ia belum mengetahui dan menekuni kegiatan yang menjadi hobinya. “Bang, kamu suka Kalia, kan?” “Hah! Ngarang aja kamu!” Sangkal Gibran lalu mengegas laju motornya. Teriakan Anis membuatnya tertawa dan sejenak melupakan pikiran tentang hobinya dan juga gadis balet itu. Baca juga 10 Contoh Cerpen Pendidikan Majalah Dinding Bagaimana cinta pertamamu, apakah berhasil? Saling betukar pandang di jendela kelas dengan malu-malu, memberikan beberapa tangkai bunga dan coklat di kolong meja diam-diam, dan juga belajar bersama di perpustakaan merupakan alibi untuk selalu dekat dengan orang yang kau damba. Begitupun denganku. Ialah sosok berambut sebahu itu, yang matanya berpendar pertama kali di lorong sekolah saat melihat karya cerpenku di mading. Cerpen remajaku yang kupasang di mading, tak kusangka dibaca olehnya dan membuat matanya berkaca-kaca. Aku yang berada di sampingnya takjub, baru pertama kali aku melihat orang secara langsung terenyuh membaca cerpen ku. “Bagus sekali..” gumamnya kala itu. “Bagian mana yang bagus?” tanyaku “Saat Rana menggapai mimpinya dan jatuh bangun bersama Roni” jawabannya dengan tatapan mata masih menghadap mading. Rana dan Roni adalah tokoh dalam cerpenku. Aku tak menanggapinya lagi. Namun tiba-tiba, ia menghentikan langkahku ketika aku hendak beranjak pergi. “Tunggu, namamu siapa?” tanyanya “Satya.” jawabku pendek “Aku Sinta, kelas 8B” ujarnya cepat, padahal akupun tak bertanya. Sejak saat itu, aku yang ketika awal bertemu bersikap dingin, entah mengapa seperti tersihir matanya. Caranya tersenyum seolah membuat matanya pun ikut tersenyum. Perlahan-lahan aku mulai pura-pura menitipkan coklat di kolong mejanya, mencuri pandang di jendela kelasku yang berseberangan dengan kelasnya. Sampai pada semester genap terakhir kelas delapan, di saat perpustakaan kosong, itulah keberanianku pertama kali untuk mengajaknya berhubungan lebih dari teman. Entah mengapa, dengan senyum malu-malu, ia pun menganggukan kepala tanda setuju. Momen itu akan aku ingat seumur hidupku. Beberapa bulan berjalan, aku dan dia hendak pulang bersama. Tetiba ia menghentikan langkah tepat di depan majalah dinding. Ia menghadap langsung dan bertanya, “Kamu tahu, kenapa aku mau nerima kamu?” “Kenapa?” “Mungkin karena kamu menulis. Kamu juga kan yang menulis cerpen remaja yang aku baca saat pertama kali kita bertemu?” Penjelasannya membuatku susah berkata-kata. Aku tak pernah bilang kalau aku ialah penulis cerpen di mading sekolah. Aku hanya tersenyum lalu ia pun membalasnya dengan senyuman kembali. Entah kenapa, aku merasa menjadi orang yang beruntung. Mungkinkah ini dampak dari jatuh cinta pada kali pertama? Nyanyian Seberang Jalan Sumber foto Gerd Altmann dari Pixabay Rumah bergaya Belanda itu menjadi tongkrongan anak-anak muda. Pemiliknya ialah sepupuku bernama Angga. Biasanya pada jam 4 sore sampai malam, teman-teman Angga akan berkumpul dan bernyanyi sambil mendendangkan gitar. Rumahnya yang berseberangan dengan rumahku pun terkadang terganggu dengan kelakuan Angga dan teman-temannya. Rata-rata teman-teman Angga berusia 12-17 tahun. Yang paling tua bernama Narto, ia bisa dibilang ketua geng di antara mereka. Narto kerap kali mengajak mereka bermain game bersama di sana ataupun hanya memainkan gitar sambil bernyanyi. Terkadang pula, ia menggodaku ketika hendak keluar rumah untuk pergi ke warung. Suatu hari, Narto dan ketiga teman lainnya asyik bernyanyi sambil bermain gitar. Tak kutemukan Angga di sana. Entah kemana sepupuku satu itu, mungkin masih di dalam rumah. Apabila aku tidak disuruh pergi membeli telur, sangat malas aku keluar rumah dan bertemu Narto. Baru saja aku membuka pintu gerbang, langkah kaki Narto dari seberang jalan mendekatiku. Ia bernyanyi sambil memainkan gitarnya dan menghampiriku dengan menggoda. Teman-teman lainnya pun cekikikan tertawa melihat Narto yang menggodaku. Aku yang risih pun berteriak. “Diam Narto!!” Sontak ia menghentikan nyanyiannya. “Kalian itu ngenganggu tau gak! Tiap hari nyanyi gak jelas, kayak gak ada kerjaan!” teman-temannya pun di seberang jalan mendadak diam. Dan kulihat Angga keluar dari dalam rumah. “Kamu juga, Angga! Suruh mereka pulang kek ke rumahnya masing-masing. Betah banget di rumah kamu kayak parasit!” Bentakku dengan keras. Kulihat mata mereka merenung tak berani menatapku. Segera aku pergi dari tempat itu dan meninggalkan mereka semua. Tak kusangka, Angga mengejarku. Di lapangan kompleks sebelum ke warung ia meneriakiku. “Wana! Berhenti!” “Apa?” Tanyaku kepadanya “Kamu gak berhak lho marah-marahin temenku kayak gitu. Mereka juga punya amarah yang disembunyikan dan melampiaskannya dengan ngobrol serta chief bareng di rumahku. Emangnya salah kalau mereka bersenang-senang sejenak?” “Salah karena mengganggu orang, tau gak!” Bentakku tak mau kalah. “Ridwan sering ditinggal Ibunya tanpa dikasih apapun, Pandu punya masalah dengan kakaknya, dan Narto ia rela bersekolah sekaligus mengamen untuk menambah biaya obat Ayahnya, asal kamu tahu.” Penjelasan Angga membuatku tertegun. “Gak semua yang kamu kira gak berguna, gak ada nilai, Wan.” Perlahan Angga pun berbalik dan menjauhiku. Segera aku pergi ke warung dan berusaha tidak memedulikan omongan Angga. Tapi nyatanya, omongan Angga mengusik pikiranku. Selepas kembali dari warung, kulihat Narto dan lainnya sudah berdiri di depan rumahku. Mereka meminta maaf. Hal itu membuatku terenyuh. Segera aku pun meminta maaf kepada mereka. Rupanya dengan beberapa pengertian, segala hal menjadi indah. Pasar Malam Gulali berwarna merah muda itu mereka beli dengan sisa uang yang mereka punya. Sehabis menaiki komedi putar yang tiang-tiangnya sudah berkarat, mereka sepakat untuk menyudahi principal wahana malam ini. Empat orang gadis remaja itu menikmati gulali merah di bangku pasar malam. Ada Rana yang selalu memakai bando untuk menghias kepalanya, ada Nina dan Nani si kembar identik yang menjadi pembeda adalah tahi lalat di sebelah pipi kiri pada Nina dan tahi lalat sebelah pipi kanan pada Nani, dan yang terakhir ialah Shila si anak bungsu yang selalu dimanja orangtuanya. Tanpa membawa handphone satu pun, mereka bebas melakukan dan bermain di pasar malam tanpa diganggu oleh panggilan dari orang tua ataupun dari orang lain. Lalu, mereka pun berbincang tentang yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi. “Tahu gak dosa kita apa? Dulu, kita sering iseng ke Pak Sadeli, asisten mamanya Shila. Gara-gara dia selalu pakai celana panjang batik kedodoran, hahha!” tiba-tiba Rana memulai perbincangan. “Haha bener, aku inget banget. Nina hampir mau ketangkep kan sama Pak Sadeli?” Shila menimpali “Enak aja, itu Nani tau, bukan aku! Aku kan larinya cepet!” Nina menyangkal “Tapi Pak Sadeli sabar deh ngadepin usilnya kita” ujar Nani sambil melahap gulali yang tersisa. “Untungnya aja, sekarang kita gak usil. Nanti di sekolah baru, kita bakal tetep kompak ga, ya?” tanya Rana “Pokoknya, harus! Diusahakan aja tetep ada komunikasi dan kumpul tiap jam istirahat, gimana?” Shila menjawabnya dengan semangat. Mereka semua pun mengangguk. Shila yang biasanya menjadi anak manja di rumah, selalu bisa mengajak dan menuntun teman-temannya itu. Di pasar malam, mereka mengikrarkan sesuatu pada ingatan masa anak-anak mereka, dan menyambut segala hal baru di depan mata mereka. “Untuk ingatan masa kecil dan ramalan masa depan,” “Yeay! Yeay! Yeayyyy!!” Nayla Sumber foto Free-Photos dari Pixabay Saat aku membuka tas sekolahku di kamar, lukisan dalam kertas tanpa nama itu berada di dalam tasku. Lukisan yang menggambarkan seorang putri pirang menghadap ke telaga berwarna biru. Entah siapa yang memasukannya, aku pun tak mengetahuinya. Seminggu berikutnya, aku mendapatkan lukisan lagi di dalam tasku seusai pulang sekolah. Lukisan itu menggambarkan seorang putri berambut pirang yang sendirian menatap kue ulang tahun. Segera aku keluar kamar, tak ada siapapun di rumah. Lagipula aku sudah biasa sendirian di rumah. Tak ada orang tua, tak ada teman-teman. Namun tiba-tiba. “Happy birthday to you.. Happy altogether to you.. Happy altogether Nayla..” Suara nyanyian itu berasal dari suara ibuku yang unmarried parent, dan juga satu-satunya temanku, yaitu Andini. Lukisan yang berada di tasku ialah buatan ibuku sendiri. Tak pernah kutahu, Ibuku kembali melukis setelah bercerai dengan Ayah. Aku menangis terharu. Tak kusangka orang-orang yang aku sayangi mengingat ulang tahunku ke-17. Seperti banyak orang bilang, sangatlah beruntung apabila ulang tahun ke 17 dirayakan dengan orang-orang spesial. Dan aku merasa aku mendapatkan hari spesial itu. Hari dimana aku akan mengingat momen ini. Aku beruntung, walau tak seperti orang-orang lain yang dirayakan dengan meriah dengan teman-teman yang banyak. Aku memiliki Andini yang mau menjadi tempat curhatku dari SMP. Ialah yang mengisi masa remajaku. Dan aku mempunyai Ibu walaupun menjadi single parent ia tetap menyeimbangi karir dan mengurusku. Aku bahagia menjadi Nayla yang sesungguhnya dan seutuhnya. Baca juga Cerpen Kehidupan Dengan Banyak Pesan Begitulah 10 contoh cerpen remaja yang bisa menjadi referensimu. Secara umum, mengisahkan masa-masa remaja. Semoga terbantu, ya. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pada dasarnya, setiap orang pasti bisa menulis cerpen, baik itu secara otodidak atau melakukan kursus. Untuk bisa menulis cerpen membutuhkan waktu yang tidak pasti, ada yang bisa menulis cerpen dengan cepat ada juga menulis cerpen dengan waktu yang cukup lama. Selain itu, karya sastra cerpen terkadang dikategorikan berdasarkan usia, misalnya cerpen anak-anak, cerpen remaja, hingga cerpen dewasa. Setiap pengelompokkan itu selalu memiliki penggambaran cerita yang berbeda-beda dan penggunaan bahasa yang berbeda-beda remaja merupakan usia di mana seseorang sedang masuk masa-masa pubertas, sehingga bisa dibilang sebagai masa-masa mencari jati diri yang sesungguhnya. Maka dari itu, terkadang pada usia ini, seseorang lebih membutuhkan suatu dorongan atau motivasi agar mampu menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan rasa tidak mudah putus asa. Dorongan atau motivasi ini bisa berasal dari mana saja, bisa dari keluarga, teman, kekasih, dan lain-lai. Nah, di bawah ini akan diceritakan satu contoh cerpen remaja tentang motivasi. Jadi, kamu bisa simak cerpen ini sampai habis, kawan. Lampu MerahPerkenalkan aku seorang siswa kelas 8 SMP yang ada di pertengahan kota, tetapi rumahku cukup jauh dari sekolah, sehingga harus naik angkutan umum untuk sampai ke sekolah. Aku selalu berusaha untuk tetap semangat untuk pergi bersekolah agar bisa menggapai cita-cita. Apalagi kedua orang tuaku selalu berusaha mencari biaya sekolah agar cita-citaku bisa tercapai. Pada suatu waktu, aku harus membayar ujian sekolah di semester genap atau pada ujian sekolah untuk kenaikan kelas. Namun, kedua orang tuaku bilang kepadaku, “maaf, nak, kami belum sanggup untuk bayar ujian sekolah.” Aku yang mendengar perkataan mereka pun merasa sedih dan aku bergumam, “apakah cita-citaku tidak akan terwujud?”Keesokan harinya ketika ingin berangkat sekolah, ayahku berkata, “tetap belajar yang rajin, nak. Ayah dan ibu akan berusaha mencari uang untuk membayar ujian sekolah” Mendengar perkataan ayah jadi mulai berpikir untuk mencari uang tambahan agar bisa meringankan biaya ujian sekolah. Kemudian, aku mulai berpikir untuk menjual suaraku di lampu merah yang ada di dekat sekolah. Aku melakukan hal itu setiap pulang sekolah dan seragamku diletakkan di dalam tas. Pada saat mengamen, aku bertemu teman dan ia memintaku untuk memanggilnya dengan nama merah. Aku pun bertanya, “mengapa ingin dipanggil merah?” Ia menjawab “karena merah berarti berani. Selama sebulan aku mengamen di lampu merah bersama si merah. Tanpa diduga, ayahku melihat aku di lampu merah dan mengomeliku saat di rumah. “Ayah tidak ingin kalau aku mencari duit karena takut belajarnya menjadi tidak fokus dan cita-cita kamu tidak tercapai.” ujar ayah sambil marah dan ayah pun ditenangkan oleh ibu. Meskipun ayah marah kepadaku, tetapi ayah tetap bilang kepadaku bahwa “jangan mengamen lagi di jalan dan fokuslah belajar.” Begitu juga dengan Ibu. Keesokan harinya aku pun sudah tak mengamen lagi dan tak pernah bertemu dengan si merah yang pemberani. 1 2 Lihat Cerpen Selengkapnya

buatlah cerpen yang mengangkat kehidupan remaja